Skip to main content

Menunggu Sinergi 3 Jenderal Polisi Berantas Korupsi (2)


Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lahir bersamaan dengan gairah reformasi. Pada waktu itu ada distrust terhadap lembaga penegak hukum biasa seperti kepolisian dan kejaksaan, karena dianggap masih mewarisi mental birokrat rezim Orde Baru yang korup. Sementara itu negara butuh gerak cepat dan tangkas untuk segera mengamputasi virus korupsi yang begitu akut. 

KPK pun membuktikan sekaligus mempertegas public distrust itu ketika ia berhasil meringkus sejumlah oknum dari institusi kepolisian dan kejaksaan juga kehakiman yang terjerat kasus korupsi. Melihat sepak terjang KPK, masyarakat semakin percaya dan yakin KPK adalah solusi ampuh memangkas penyakit korupsi yang sudah kornis di negeri ini. KPK dielu-elukan sebagai pahlawan juga lembaga paling bersih, sehingga dilapisi superbody. 


Ya, KPK menjelma lembaga superbody dengan kewenangan yang sangat besar karena merangkum sekaligus kewenangan dua lembaga penegak hukum, kepolisian dan kejaksaan. Tidak hanya itu, meski komisionernya direkomendasikan oleh presiden dan dipilih DPR, KPK murni bekerja secara independen. Tidak seorang pun yang bisa mengintervensi, tidak juga sang presiden. 

Tapi memang watak kekuasaan itu sama dimana-mana. Semakin besar kekuasaannya, semakin besar pula kecenderungan jatuh ke dalam penyalahgunaan atau penyimpangan. Setelah 17 tahun berdiri, KPK pun tidak luput dari godaan power tends to corrupt. Tentang hal ini, sudah saya uraikan secara garis besar pada part 1 dari tulisan ini.  


Intinya dengan melihat secara jernih realita lembaga antirasuah sekarang, maka memang perlu dilakukan perubahan-perubahan tertentu dalam bentuk perundang-undangan untuk memperkuatnya. Memperkuat disini dalam pengertian yang luas yakni, melindungi KPK sebagai institusi dari rongrongan pihak luar, juga menjaganya dari potensi penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang dari dalam KPK itu sendiri. 

Dalam hal ini, Revisi terhadap UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi  menjadi sebuah keniscayaan. Secara pribadi saya sangat setuju dengan dibentuknya Dewan Pengawas untuk menjaga agar lembaga ini menegakkan hukum tanpa melanggar hukum. Dengan kewenangan yang sangat besar di tangan KPK, perlu Dewan Pengawas agar kewenangan itu tidak disalahgunakan, atau tidak melahirkan oknum-oknum 'bermental mentang-mentang' sehingga merasa bisa bertindak sewenang-wenang. 


Dewan Pengawas ini diharapkan bisa menjadi pedoman bagi KPK agar keluar dari cangkangnya sendiri dan mau bersinergi dengan institusi penegak hukum yang lain. Sebab, setelah 17 tahun bekerja, korupsi masih merajalela di negara ini. KPK tidak bisa bekerja sendiri lagi, melainkan harus mampu membangun jejaring yang luas dengan semua lembaga terkait, setidaknya dengan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan Kejaksaan RI. 

Dua lembaga ini, sudah lama diberi kewenangan untuk menjalankan peran memberantas tindak pidana, tidak terkecuali tindak pidana korupsi. Diharapkan setelah KPK melakukan shock therapy lewat penangkapan sejumlah oknum polisi dan jaksa serta hakim, juga dengan hukuman sosial berupa merosotnya kepercayaan publik terhadap dua lembaga tersebut, timbul kesadaran untuk kembali menegakkan marwahnya. 


Secara teknis sinergisitas KPK dengan Polri dan Kejaksaan RI adalah sebuah tuntutan teknis dan praktis. Sampai saat ini KPK tidak memiliki sumber daya manusia yang mampu menjangkau sampai ke pelosok negeri. Sementara uang negara sudah mengalir ke sana melalui Dana Desa. Dan di luar harapan kita semua, ternyata semangat membangun dari desa yang digalakan Jokowi, diikuti pula oleh semangat para koruptor untuk melakukan bancakan uang negara sampai ke desa-desa.

Tidak hanya menggandeng Polri dan Kejaksaan, institusi lain yang perlu ditarik KPK masuk barisan penumpas para koruptor adalah, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Mengapa Kemendagri? 


Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2015 tentang Kementerian Dalam Negeri yang kini dipimpin Jenderal Polisi (Purn) Tito Karnavian itu secara tidak langsung memiliki peran juga dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi. Sebab kemendagri memiliki fungsi mengamankan uang negara yang dialokasikan dari pusat kepada pemerintahan daerah. 

Dalam point 1 dikatakan bahwa Kemendagri menjalankan fungsi perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang politik dan pemerintahan umum, otonomi daerah, pembinaan administrasi kewilayahan, pembinaan pemerintahan desa, pembinaan urusan pemerintahan dan pembangunan daerah, pembinaan keuangan daerah, serta kependudukan dan pencatatan sipil, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.  


Fungsi pembinaan keuangan daerah sebenarnya bisa diterjemahkan dalam bentuk sistem penggunaan dan pengelolaan keuangan daerah yang transparan dan bebas korupsi. Jika fungsi ini dioptimalkan, niscaya skandal anggaran siluman yang menggemparkan DKI beberapa waktu lalu, tidak akan terjadi.
Dengan dukungan KPK dan Polri, juga Kejaksaan RI, Kemendagri bisa mengoptimalkan fungsinya ini dengan menciptakan sistem pengelolaan keuangan daerah yang bisa diakses publik, atau setidaknya bisa diakses oleh Polri dan kejaksaan. Kemendagri dalam hal ini bisa menjadi pihak yang mengadukan penyalahgunaan keuangan daerah kepada Polri atau KPK. 


Mungkinkah sinergi itu diwujudkan? Melihat komposisi pimpinan tiga lembaga tadi, Kemendagri, Polri dan KPK, rasanya sinergisitas antarlembaga yang selama ini kita impikan bukan lagi menjadi hal yang sulit untuk direalisasikan. 

Kemendagri kini dipimpin Tito Karnavian, mantan Kapolri yang sempat mewacanakan dibentuknya Satgas Antikorupsi, dan KPK akan dinahkodai Firli Bahuri yang juga figur dari Korps Tribarata. Kalau Kapolri sudah jelas, Idham Azis, disebut-sebut sebagai partner kepercayaan Tito Karnavian semasa masih sama-sama di kepolisian. 


Tito sudah merintis jalan dengan langkah pertama menyisir anggaran, dan Idham Azis mulai menata kehidupan anak buahnya agar tidak doyan pamer kemewahan. Mari menunggu terobosan Firli usai dilantik pada Desember mendatang. 

Semoga saja ada terobosan dan harapan baru dari sinergi tiga jenderal polisi, Tito, Idham dan Firli dalam upaya pemberantasan korupsi di negeri ini.      

Popular posts from this blog

Ancam Penggal Kepala Jokowi, Pria Ini Enaknya Diapain?

Semakin lama semakin mengerikan melihat ekspresi para pendukung capres Prabowo Subianto. Mereka seolah dirasuki sesuatu yang membuat hati dan pikiran mereka tertutup terhadap apa dan siapa pun yang tidak bersenyawa dengan pikiran dan tindakan mereka. Hal ini membuat mereka terlihat lebih sebagai pembuat onar atau kaum ekstrimis ketimbang pendukung paslon yang mestinya paham aturan dan tata cara menyampaikan pendapat di ruang publik.  Orang-orang dalam video di atas adalah salah satu contohnya. Mereka merasa bisa melakukan apa saja, kepada siapa saja hingga berani mengancam akan memenggal kepala Presiden Jokowidodo. Mungkin mereka frustrasi karena gaung kemenangan Prabowo yang mereka deklarasikan semakin sayup dan mulai menghilang.  Sebagai pendukung Prabowo adalah hak mereka melakukan aksi dukungan selama sesuai aturan dan undang-undang. Tapi mengancam membunuh Jokowi adalah tindakan naif dan sangat di luar batas. Mungkin inilah ekspresi brutal yang merupakan efek dari m

Menanti Taji Pria Pengancam Jokowi di Depan Polisi

Pria yang mengancam akan memenggal leher Presiden Jokowidodo akhirnya diciduk polisi. Ia dibekuk di sebuah perumahan di kawasan Parung, Bogor, pada Minggu pagi (12/05). Lokasi penangkapan 'jagoan penggal' ini berbeda dengan pengakuannya dalam video yang menyebutkan dirinya berasal dari Poso.  HS pun langsung digiring ke Polda Metro Jaya untuk menjalani pemeriksaan.  Video HS mengancam Jokowi beredar luas di media sosial beberapa hari lalu. Diduga pernyataan konyol itu dilontarkan pelaku saat mengikuti aksi demo di depan gedung KPU dan Bawaslu. HS yang dikelilingi sejumlah demonstran lain termasuk dua orang wanita, tampak garang dan begitu bernafsu mengancam akan memenggal leher Jokowi.  Kini publik menunggu seberapa besar nyali demonstran beringas ini saat berhadapan dengan pihak penyidik Polda Metro Jaya. Di hadapan penyidik nanti, ia harus mempertanggungjawabkan apa yang sudah diperbuatnya. Nyalinya diuji karena ia akan menghadapi semuanya seorang diri. Tidak a

Strategi Cerdas Jokowi Pulihkan BUMN

Sewaktu melantik para menteri Kabinet Indonesia Maju, banyak kalangan kecewa karena nama Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, tidak masuk dalam deretan nama para pembantu Jokowi itu. Para pendukung fanatik Ahok mengira Jokowi sudah melupakan sekondannya itu sewaktu sama-sama memimpin DKI.  Tidak hanya Ahok, nama lain seperti Susi Pudjiastuti, Ignasius Jonan dan Archandra Tahar juga seperti dipinggirkan dari urusan para penentu kebijkan di sejumlah sektor yang sudah ditentukan. Bahkan tidak sedikit yang larut dalam ekspresi sentimentil seolah kehilangan sosok yang mereka cintai. Pertanyaan di mana Susi Pudjiastuti ramai dibicarakan di dunia nyata maupun dunia maya.  Tapi memang begitulah Jokowi. Dia selalu menyimpan sejumlah kejutan dalam sejumlah keputusannya. Ibarat seorang petarung, Jokowi tidak memeragakan semua strategi di depan. Ada yang disimpan, dan bisa jadi senjata pamungkas.  Dan kini semua mulai terlihat. Ahok diberi kursi Komisaris Utama Pertamina, posisi yan