Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lahir bersamaan dengan gairah reformasi. Pada waktu itu ada distrust terhadap lembaga penegak hukum biasa seperti kepolisian dan kejaksaan, karena dianggap masih mewarisi mental birokrat rezim Orde Baru yang korup. Sementara itu negara butuh gerak cepat dan tangkas untuk segera mengamputasi virus korupsi yang begitu akut.
KPK pun membuktikan sekaligus mempertegas public distrust itu ketika ia berhasil meringkus sejumlah oknum dari institusi kepolisian dan kejaksaan juga kehakiman yang terjerat kasus korupsi. Melihat sepak terjang KPK, masyarakat semakin percaya dan yakin KPK adalah solusi ampuh memangkas penyakit korupsi yang sudah kornis di negeri ini. KPK dielu-elukan sebagai pahlawan juga lembaga paling bersih, sehingga dilapisi superbody.
Ya, KPK menjelma lembaga superbody dengan kewenangan yang sangat besar karena merangkum sekaligus kewenangan dua lembaga penegak hukum, kepolisian dan kejaksaan. Tidak hanya itu, meski komisionernya direkomendasikan oleh presiden dan dipilih DPR, KPK murni bekerja secara independen. Tidak seorang pun yang bisa mengintervensi, tidak juga sang presiden.
Tapi memang watak kekuasaan itu sama dimana-mana. Semakin besar kekuasaannya, semakin besar pula kecenderungan jatuh ke dalam penyalahgunaan atau penyimpangan. Setelah 17 tahun berdiri, KPK pun tidak luput dari godaan power tends to corrupt. Tentang hal ini, sudah saya uraikan secara garis besar pada part 1 dari tulisan ini.
Intinya dengan melihat secara jernih realita lembaga antirasuah sekarang, maka memang perlu dilakukan perubahan-perubahan tertentu dalam bentuk perundang-undangan untuk memperkuatnya. Memperkuat disini dalam pengertian yang luas yakni, melindungi KPK sebagai institusi dari rongrongan pihak luar, juga menjaganya dari potensi penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang dari dalam KPK itu sendiri.
Dalam hal ini, Revisi terhadap UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi sebuah keniscayaan. Secara pribadi saya sangat setuju dengan dibentuknya Dewan Pengawas untuk menjaga agar lembaga ini menegakkan hukum tanpa melanggar hukum. Dengan kewenangan yang sangat besar di tangan KPK, perlu Dewan Pengawas agar kewenangan itu tidak disalahgunakan, atau tidak melahirkan oknum-oknum 'bermental mentang-mentang' sehingga merasa bisa bertindak sewenang-wenang.
Dewan Pengawas ini diharapkan bisa menjadi pedoman bagi KPK agar keluar dari cangkangnya sendiri dan mau bersinergi dengan institusi penegak hukum yang lain. Sebab, setelah 17 tahun bekerja, korupsi masih merajalela di negara ini. KPK tidak bisa bekerja sendiri lagi, melainkan harus mampu membangun jejaring yang luas dengan semua lembaga terkait, setidaknya dengan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan Kejaksaan RI.
Dua lembaga ini, sudah lama diberi kewenangan untuk menjalankan peran memberantas tindak pidana, tidak terkecuali tindak pidana korupsi. Diharapkan setelah KPK melakukan shock therapy lewat penangkapan sejumlah oknum polisi dan jaksa serta hakim, juga dengan hukuman sosial berupa merosotnya kepercayaan publik terhadap dua lembaga tersebut, timbul kesadaran untuk kembali menegakkan marwahnya.
Secara teknis sinergisitas KPK dengan Polri dan Kejaksaan RI adalah sebuah tuntutan teknis dan praktis. Sampai saat ini KPK tidak memiliki sumber daya manusia yang mampu menjangkau sampai ke pelosok negeri. Sementara uang negara sudah mengalir ke sana melalui Dana Desa. Dan di luar harapan kita semua, ternyata semangat membangun dari desa yang digalakan Jokowi, diikuti pula oleh semangat para koruptor untuk melakukan bancakan uang negara sampai ke desa-desa.
Tidak hanya menggandeng Polri dan Kejaksaan, institusi lain yang perlu ditarik KPK masuk barisan penumpas para koruptor adalah, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Mengapa Kemendagri?
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2015 tentang Kementerian Dalam Negeri yang kini dipimpin Jenderal Polisi (Purn) Tito Karnavian itu secara tidak langsung memiliki peran juga dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi. Sebab kemendagri memiliki fungsi mengamankan uang negara yang dialokasikan dari pusat kepada pemerintahan daerah.
Dalam point 1 dikatakan bahwa Kemendagri menjalankan fungsi perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang politik dan pemerintahan umum, otonomi daerah, pembinaan administrasi kewilayahan, pembinaan pemerintahan desa, pembinaan urusan pemerintahan dan pembangunan daerah, pembinaan keuangan daerah, serta kependudukan dan pencatatan sipil, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Fungsi pembinaan keuangan daerah sebenarnya bisa diterjemahkan dalam bentuk sistem penggunaan dan pengelolaan keuangan daerah yang transparan dan bebas korupsi. Jika fungsi ini dioptimalkan, niscaya skandal anggaran siluman yang menggemparkan DKI beberapa waktu lalu, tidak akan terjadi.
Dengan dukungan KPK dan Polri, juga Kejaksaan RI, Kemendagri bisa mengoptimalkan fungsinya ini dengan menciptakan sistem pengelolaan keuangan daerah yang bisa diakses publik, atau setidaknya bisa diakses oleh Polri dan kejaksaan. Kemendagri dalam hal ini bisa menjadi pihak yang mengadukan penyalahgunaan keuangan daerah kepada Polri atau KPK.
Mungkinkah sinergi itu diwujudkan? Melihat komposisi pimpinan tiga lembaga tadi, Kemendagri, Polri dan KPK, rasanya sinergisitas antarlembaga yang selama ini kita impikan bukan lagi menjadi hal yang sulit untuk direalisasikan.
Kemendagri kini dipimpin Tito Karnavian, mantan Kapolri yang sempat mewacanakan dibentuknya Satgas Antikorupsi, dan KPK akan dinahkodai Firli Bahuri yang juga figur dari Korps Tribarata. Kalau Kapolri sudah jelas, Idham Azis, disebut-sebut sebagai partner kepercayaan Tito Karnavian semasa masih sama-sama di kepolisian.
Tito sudah merintis jalan dengan langkah pertama menyisir anggaran, dan Idham Azis mulai menata kehidupan anak buahnya agar tidak doyan pamer kemewahan. Mari menunggu terobosan Firli usai dilantik pada Desember mendatang.
Semoga saja ada terobosan dan harapan baru dari sinergi tiga jenderal polisi, Tito, Idham dan Firli dalam upaya pemberantasan korupsi di negeri ini.