Di jaman modern dimana baju dan celana tidak lagi menjadi sekedar pembalut tubuh, urusan busana memang menjadi sangat penting. Motto you are what you wear, adalah gambaran bagaimana identifikasi jatidiri seorang manusia dengan pakaian yang dipakainya menjadi sebuah credo baru para fashionista di abad ini.
Dan seperti urusan menu makanan, busana atau fashion juga berkaitan dengan selera pribadi. Dan karena selera, maka ia tidak bisa diperdebatkan (non disputandum). Kita tidak bisa menilai anak muda yang senang memakai jeans belel sebagai gembel, karena toh banyak figur idola publik seperti para artis juga menyukai celana belel.
Tapi jangan lupa, fahsion tidak hanya cerminan jati diri atau selera pribadi semata. Ia juga adalah simbol sosial dan bagian integral dari budaya tertentu. Dalam ranah sosial dan budaya inilah berpakaian itu ada aturannya, ada etikanya. Para jurnalis, ketika menjalankan tugas peliputan di tempat biasa, mereka mengenakan busana yang terkadang nyentrik, casual, atau bahkan slengean.
Tapi tidak demikian ketika mereka menjalankan tugas peliputan sebuah peristiwa di istana negara. Para jurnalis ini wajib mengenakan busana resmi dan santun seperti batik, kemeja atau jas. Jika tidak, mereka bisa dilabeli jurnalis saltum alias salah kostum atau salcode, salah dresscode.
Beberapa hari ini ruang publik riuh oleh polemik celana cingkrang dan cadar bagi para ASN. Polemik ini bermula dari pernyataan Menteri Agama, Fachrul Razi. Dalam safari di hari-hari pertama tugasnya sebagai menteri, Fachrul menyoroti celana cingkrang yang dikenakan ASN pria serta cadar yang dikenakan para ASN wanita.
Sebelum melanjutkan ulasan tentang polemik panas ini, perlu diberi catatan bahwa, tidak semua ASN pria mengenakan celana cingkrang, juga tidak semua ASN wanita mengenakan cadar. Artinya, ada sebuah jati diri individu atau identitas komunitas yang hendak dibawa ke dalam lingkungan ASN.
Pokok persoalannya adalah, bolehkah seorang ASN mengenakan celana cingkrang dan cadar saat bekerja? Tidak mudah memberikan jawaban atas persoalan ini. Ada sejumlah faktor yang harus ditelaah dan diberi ruang seluas-luasnya untuk diskusi.
ASN pemakai celana cingkrang dan cadar beranggapan bahwa mengenakan dua item busana itu adalah bagian dari hak asasinya sebagai seorang manusia. Pertimbangan ini ada benarnya. Tapi jangan lupa, ASN itu memiliki aturan yang berlaku secara umum. Dan dalam kehidupan bernegara berlaku prinsip kepentingan publik berada di atas kepentingan individu. Tetapi negara wajib melindungi dan menjamin kebebasan setiap individu.
Negara tidak bisa diatur atas dasar keyakinan masing-masing individu. Undang-undang negara dibuat dengan mempertimbangkan kepentingan khalayak. Jika yang mengenakan cadar adalah rakyat biasa, bukan ASN, yang datang ke instansi pemerintah, larangan itu tentu tidak berlaku. Alasannya ya tadi, memilih dan memakai busana yang diinginkan adalah bagian hak asasi.
Selanjutnya perlu didalami latar belakang larangan memakai celana cingkrang dan cadar bagi ASN. Larangan memakai dua item busana tersebut adalah bagian dari upaya pemerintah, dalam hal ini dimandatkan kepada Menag, untuk membersihkan negara dari paham radikal. Mengapa celana cingkrang dan cadar?
Ini merupakan konklusi dari sejumlah pengalaman empiris terkait identitas kaum radikal yang hampir pasti mengenakan celana cingkrang dan cadar sebagai dresscode mereka. Bahkan dalam kasus tertentu, cadar juga dipakai sebagai selubung kamuflase yang dipakai oleh seorang pria yang hendak melakukan aksi destruktif.
Karena pertimbangan yang didasari pengalaman empiris inilah, dua aksesoris itu sering diidentikan dengan paham radikal, terutama teroris. Dan dalam konteks ini pula larangan Menag Fachrul Razi sudah sesuai amanat keamanan rakyat di dalam negara dan bangsa ini. Tapi asumsi konotatif yang didasari fakta empiris itu, sejatinya disertai dengan kajian dan investigasi mendalam tentang para ASN pemakai celana cingkrang dan cadar.
Negara harus benar-benar dengan jernih menggali dan mengungkap jati diri para ASN di balik busana yang mereka kenakan. Jika memang terbukti yang bersangkutan memiliki keterkaitan dengan paham dan atau gerakan radikal, maka larangan memakai busana itu saja tidak cukup sebagai ganjarannya. Yang bersangkutan mesti diberi sanksi yang sangat tegas, berupa pemecatan. Jadi asumsi atas dasar pengalaman empiris harus dibuktikan dengan penyelidikan yang seksama, dan harus bebas dari kepentingan apa pun, selain kepentingan membebaskan negara dari virus radikalisme.
Dalam hal ini, sudah bijak ketika Menag Fachrul menyampaikan permintaan maaf karena telah menimbulkan kegaduhan, walau beliau tidak merasa bersalah atas upaya yang coba dilakukannya. Tidak salah karena memang sebagai pejabat publik, Fachrul wajib hukumnya menjalankan tugas negara dalam mebersihkan paham radikal yang dinilai tidak sesuai dengan dasar negara Pancasila. Tapi beliau juga mengakui kalau gerakan bersih-bersih radikal yang pada akhirnya menyasar kaum cingkrang dan cadar, mungkin terlalu cepat diumbar ke ruang publik.
Kedepan, jika hendak melakukan upaya yang berpotensi menyerempet identitas keagamaan, mungkin lebih tepat untuk menggandeng tokoh agama, selain tentu saja, investigasi mendalam terkait latar belakang mereka yang memilih mengenakan celana cingkrang dan cadar. Jangan sampai kita menyingkirkan 2 atau 3 orang baik hanya karena 100 orang jahat.
Negara tidak boleh mentolerir siapa saja yang mencoba menebar benih radikalisme entah lewat unsur budaya, dalam hal ini busana, atau melalui gerakan-gerakan tertentu. Tapi perlu kehati-hatian dan kejelian sebelum memberikan label radikal kepada kaum yang memilih menggunakan identitas fisik tertentu.
Selidik, pilah dan pisahkan kaum cingkrang dan cadar yang memang penganut paham dan gerakan radikal dari kaum cingkrang dan cadar yang mengenakannya sebagai bagian dari ekspresi iman dan keyakinan.