Sejak Presiden Joko Widodo mengutak- atik nama calon menteri, Ketua Umum Partai Nasional Demokrat, Surya Paloh sepertinya memperlihatkan gelagat politik yang tidak biasa. Puncaknya setelah Jokowi mengumumkan susunan Kabinet Indonesia Maju pada 23 Oktober 2019. Partai Nasional Demokrat (Nasdem) pimpinan Surya Paloh mendapat jatah tiga kursi menteri, jumlah yang sama dengan jatah Nasdem dalam Kabinet Indonesia Kerja pada periode pertama pemerintahan Jokowi.
Meski porsi Nasdem tidak berkurang, namun berhembus rumor Surya Paloh merasa kurang hati dengan jatah yang diberikan Jokowi. Bukan karena jumlahnya terlalu sedikit, melainkan karena tiga krusi menteri yang diberikan Jokowi dianggap bukan posisi strategis. Nasdem mendapat jatah Menkominfo (Johni G. Plate), Menteri Pertanian (Syahrul Yasin Limpo) dan Menteri Lingkungan Hudup dan Kehutanan (Siti Nurbaya Bakar). Ditambah lagi, kursi Jaksa Agung yang pada periode lalu diduduki orang Surya Paloh, kini diberikan kepada figur lain yang disebut-sebut memiliki kedekatan dengan Ketum PDIP, Megawati Soekarno Putri.
Tapi semua rumor politik ini tidak bisa diafirmasi sebagai sebab utama Surya Paloh berubah sikap menjadi 'uring-uringan' terhadap barisan koalisi. Karena politik tidak bisa dibaca dengan cara yang harafiah. Tapi yang pasti adalah, Ketum Partai Nasdem itu terus melakukan manuver politik yang, membuat publik bingung. Sebab Surya Paloh yang sejak tahun 2014 setia mendukung Jokowi terkesan mendua. Ia berdiri di barisan koalisi tapi bersikap seolah-olah ia bagian dari oposisi.
Ia berangkulan dengan Sohibul Iman, Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sampai-sampai Jokowi merasa cemburu, melihat eratnya pelukan Surya Paloh dan hangatnya pertemuan mereka. Tidak hanya itu, Surya juga terkesan memberi panggung istimewa kepada Anies Rasyd Baswedan, Gubernur DKI yang selama ini dicitrakan sebagai tokoh antagonis Jokowi. Surya Paloh bahkan semakin berani mewacanakan secara diam-diam untuk mengusung Anies pada Pilpres 2024 nanti.
Manuver paling akrobatik Surya Paloh terjadi ketika ia memberi panggung pada seremoni pembukaan kongres Partai Nasdem. Ia memberi palu pembuka kepada Anies dan memberinya podium untuk berpidato. Dan dari atas panggung itulah, Anies bicara melampaui kapasitasnya. Ia tidak bicara DKI yang lagi banyak disorot karena pesonanya kian melorot di tangan Anies.
Mimbar pemberian Surya Paloh dan Nasdem itu dipakai Anies untuk membidik pemerintahan pusat dengan bicara tentang ketimpangan yang terjadi di negeri ini. Dengan ini Surya Paloh seolah memberi batu kepada Anies untuk melemparkannya ke istana, lalu menyembunyikan tangannya di balik kondisi Jakarta yang rasa-rasanya semakin banyak menimbun masalah, mulai dari toilet umum hingga anggaran siluman yang entah bagaimana Anies dan tim anggarannya menyulap semua itu.
Apakah Jokowi tidak perduli dengan manuver Surya Paloh?
Jokowi pasti sangat terganggu, sampai-sampai ia melempar sindiran kepada Surya Paloh di hajatan Partai Golkar. Jokowi menggambarkan wajah Surya Paloh yang semakin ceria setelah bertemu dan berangkulan dengan Presiden PKS. Seperti kekasih yang dicampakkan Jokowi mengatakan dirinya bahkan tidak pernah dipeluk seerat itu oleh Surya Paloh.
Inilah kecemburuan politik yang baru kali ini diungkap secara terang-terangan oleh Jokowi. Ia merasa cemburu melihat kolega politiknya begitu 'mesra' justru dengan oposisi. Jokowi juga barangkali berkecil hati karena Surya Paloh memberi Anies, yang hanya seorang Gubernur, tempat pertama di kongres Partai Nasdem, dan memberi Jokowi kunci untuk menutup acara. Ada pembalikan protokoler di sini.
Melihat cara Surya Paloh memperlakukan Anies secara istimewa dan menempatkan Jokowi seolah sebagai subordinasi Anies, banyak orang marah dan berharap Jokowi tidak akan menghadiri acara penutupan kongres Partai Nasdem. Tapi Jokowi bukan tipe politikus dengan prilaku politik yang infantil. Ia seorang yang tenang, matang dan bahkan dingin. Maka di luar ekspektasi penuh emosi khalayak, ia tetap menghadiri acara penutupan hajatan Surya Paloh dan Partainya.
Jokowi diberi podium untuk bicara. Dan seperti biasa, ia maju dengan tenang, layaknya pemain spesialis tendangan penalti yang siap menyarangkan gol ke gawang lawan. Dan dari titik sentral itu, Jokowi kembali menyindir Surya Paloh. Tapi kali ini diakhiri persuasi lewat kalimat, "saya akan merangkul bang Surya lebih erat lagi". Dan usai memberi sambutan, Jokowi turun dan merangkul Surya Paloh.
Itu adalah peristiwan yang sangat monumental, sebuah aksi simbolis antarsahabat. Dengan merangkul Surya Paloh, Jokowi hendak mengatakan, "buat apa mencari sekutu baru, saya toh masih bisa merangkulmu lebih dekat lagi". Jokowi sekaligus menunjukkan kebesaran hatinya sebagai seorang pemimpin. Tidak perlu baper dan gengsi untuk menarik seorang kolega, meski ia nyata-nyata menunjukan gelagat berpaling dan bahkan berkhianat sekali pun.
Jangankan Surya Paloh yang cuma 'ngambek-ngambek manja', Prabowo yang nyata-nyata 'menggigit' saja masih dirangkul Jokowi. Jadi bagi Jokowi manuver Surya Paloh is not a big deal. Sebagai kolega yang pernah merasakan andil Surya Paloh dalam perjalanan politik menuju kursi RI-1, Jokowi tidak mau mengabaikan Surya Paloh hanya karena bersikap ngambek.
Jadi ada kalkulasi etika dan moral ketika Jokowi merundukkan badan dan mau merangkul Surya Paloh yang sudah menduakan dirinya dengan merangkul Sohibul Iman. Menghadapi ulah Surya Paloh, Jokowi tidak mau membatasi dirinya pada kalkulasi kekuatan politik. Ia tidak menghitung berapa sisa kekuatan politiknya jika Surya Paloh dan partainya hengkang dari koalisi.
Kalau kalkulasi kekuatan dukungan politik seperti ini yang menjadi pertimbangan Jokowi, maka sudah pasti ia tidak akan berbaik-baikan dengan Surya Paloh. Toh secara hitung-hitungan kubu koalisi tanpa Nasdem dengan oposisi, jelas masih kuat koalisi. Apalagi setelah Gerindra berhasil ditaklukan. Jokowi juga masih memainkan kemungkinan dengan memainkan dadu politik dan meminang koalisi baru. Konon, jika Nasdem benar-benar pamit, Jokowi sudah siap gelar karpet merah buat Partai Demokrat.
Tapi Jokowi berbesar hati saja, dan barangkali sambil mengurut dada memaklumi manuver politik Surya Paloh, lalu merangkulnya kembali. Apakah rangkulan lebih erat ini sudah didahului tawaran jatah baru, kita semua tidak tahu. Politik di depan panggung sangat jauh berbeda dengan politik yang dimainkan di belakang panggung.
Dari pertunjukkan yang diperlihatkan Jokowi dengan Surya Paloh di depan pentas, setidaknya kita bisa memetik sebuah pelajaran berharga yakni bahwa, Politik tidak pernah berjalan secara linier. Seringkali ia meliuk-liuk dalam sebuah spiral, atau zig zag di tengah keramaian lalu lintas politik. Mungkin Surya Paloh sedang menjajal rute zig zag setelah sekian tahun berjalan beriringan dengan Jokowi. Dan hanya kebesaran hati seorang Jokowi yang mampu membuat Surya Paloh kembali ke track yang sama.
Semoga saja track bersama ini dilalui sampai 2024, dan takan ada lagi persimpangan politik yang menggoda Surya Paloh untuk keluar dari Jokoway. Namun seandainya pun itu terjadi, kita harus berbesar hati untuk menerimanya, sebesar hati Jokowi merangkul kembali Surya Paloh yang sempat menduakan Jokowi.