Terbongkarnya anggaran siluman dalam rancangan kebijakan umum anggaran-prioritas plafon anggara sementara (KUA-PPAS) APBD DKI tahun 2020 masih menyisakan kebingungan besar di benak publik. Bagaimana bisa anggaran sebesar itu dibuat seolah-olah seperti sebuah simulasi main-mainan saja di jajaran Pemda DKI. Yang lebih membingungkan adalah ketika anggaran siluman itu terbongkar, para pihak yang terkait dengannya malah sibuk mencari pembenaran diri. Tidak ada rasa bersalah sama sekali dan buru-buru meminta maaf kepada rakyat karena telah memperkosa hak mereka untuk mendapatkan pelayanan yang maksimal lewat pengelolaan anggaran yang benar.
Sikap serupa juga ditunjukkan oleh Gubernur DKI, Anies Rasyd Baswedan. Alih-alih meminta maaf, gubernur yang dipilih oleh 58% warga DKI ini justru sibuk mencari kambing hitam, mulai dari sistem e-budgeting yang menurutnya adalah biang persoalan anggaran setiap tahun di DKI, hingga perintahnya untuk mengusut tuntas dan mencari siapa dibalik munculnyan angka-angka abnormal dan mata anggaran janggal dalam KUA-PPAS yang kini ibarat dentuman sosial-politik di ibu kota.
Anies bahkan sempat menyindir para kader Partai Solidaritas Indonesia (PSI) sebagai pendatang baru yang sedang mencari panggung. Di sini terlihat arogansi Anies yang seolah merasa diri sebagai titik sentral politik DKI yang tidak boleh dikritik, apalagi oleh anggota legislatif yang baru duduk di Kebon Sirih. Dia lupa bahwa sebagai wakil rakyat, para anggota legislatif ini wajib meminta pertanggungjawaban Anies untuk semua langkah dan kebijakannya sebagai Gubernur.
Tapi Anies tetaplah Anies. Ia mengaku salah tapi tidak meminta maaf dan hanya ingin dikoreksi. Menurut Anies kesalahan harusnya dikoreksi bukan diramaikan di sosial media. Namun semakin ia berkelit, berkilah dan berdalih, semakin banyak pula kejanggalan yang ditemukan dalam rancangan KUA-PPAS dalam APBD DKI. Anies seperti orang yang terjebak dalam lumpur hidup, semakin berusaha menyelamatkan diri, semakin dalam pula ia ditelan lumpur bergerak itu.
Lem aica aibon pun rupanya bukan satu-satunya mata anggaran janggal yang termuat dalam APBD DKI. Ada belasan mata anggaran yang mengusik akal sehat kita. Misalnya anggaran untuk membangun jalur sepeda yang semula hanya 4 miliar lalu berakrobatik dan melonjak secara ajaib menjadi 73 miliar. Ada juga anggaran pembelian alat tulis berupa bolpoin senilai 123 miliar.
Deretan mata anggaran dengan angka yang fantastis ini membuat kita tertegun. Apa sebenarnya yang terjadi dengan Gubernur dan jajarannya di Pemda DKI?
Alasan salah ketik, salah input, dan sebagainya rasanya sulit diterima, karena begitu banyak mata anggaran yang menggelembung. Selain itu, pilihan barang dan jasa yang tercantum di mata anggaran itu rasa-rasanya jauh dari kebutuhan prioritas. Balapan formula E misalnya, yang menelan biaya triliunan rupiah. Event dengan anggaran luar biasa ini lagi-lagi disoroti oleh kader PSI. Secara logis, angka fantastis itu mungkin sebanding dengan event yang akan diselenggarakan. Balap formula E memang bukan barang murah.
Persoalannya adalah, di tengah ancaman defisit anggaran di DKI, haruskah event itu digelar? Apa urgensinya untuk warga DKI? Jangan-jangan prestisius itu hanya untuk gagah-gagahan Anies, atau yang oleh kader PSI disebut sebagai upaya Anies membangun panggung bertaraf internasional untuk pencitraan dirinya.
Yang menyedihkan adalah, kesadaran warga DKI akan bahaya pengelolaan uang yang terkesan semberono dan seenak jidat pemimpinnya. Celakanya, di tengah arus protes dan kebingungan khalayak tentang anggaran janggal itu anggota DPRD DKI dari PSI yang mengungkap kejanggalan itu justru dilaporkan ke Badan Kehormatan Dewan DPRD DKI. Adalah Sugyanto, Ketua Koalisi Pemerhati Jakarta Baru, yang melaporkan William Aditya Sarana ke BKD DPRD DKI.
Menurut Sugyanto, tindakan William mengunggah anggaran janggal di sosial media telah menimbulkan kegaduhan dan membuat jelek citra Anies Baswedan sebagai gubernur DKI. Tentu saja hak Sugyanto untuk menempuh jalan hukum perlu dihargai. Tapi upayanya menegakkan citra Anies justru menimbulkan pertanyaan, mengapa Sugyanto tidak melaporkan masalah yang lebih esensial terkait dengan pengelolaan anggaran yang tidak becus di Pemda DKI? Menyelamatkan uang rakyat dari bancakan para maling berdasi jauh lebih bermartabat daripada sekedar menjaga marwah pemimpin yang sepertinya tidak bisa menjaga marwahnya sendiri.
Tapi Sugyanto bukan satu-satunya pihak yang ikut kebakaran jenggot oleh aksi anak-anak PSI di Kebon Sirih. Sebelumnya, sesama kolega legislatif mereka memberikan teguran berjemaah kepada William secara khusus dan PSI secara umum. Inilah yang membuat publik nyaris kehilangan harapan akan Jakarta yang lebih baik dan bersih dari penyalahgunaan uang rakyat.
Bagaimana bisa rakyat mengawasi gubernurnya, kalau para wakil mereka yang diberi mandat saja ternyata lebih memikirkan sopan santun dalam menyingkap kejanggalan yang dilakukan pihak eksekutif. Bagaimana mungkin polisi yang menangkap maling justru diberi peringatan untuk lebih santun lagi ketika menangkap seorang birokrat. Jangan salahkan publik ketika kemudian mereka berasumsi tentang adanya kongkalingkong antara Gubernur DKI dengan para pejabat di Kebon Sirih.
Mencuatnya sejumlah kejanggalan dalam pengelolaan APBD di DKI selama masa kepemimpinan Anies membuat kita bertanya, apakah sudah tepat kita mempercayakan DKI ke tangan seorang Anies Rasyd Baswedan?
Yang pasti kita menunggu satu hal, menunggu Anies merasa malu dan akhirnya mengembalikan mandatya sebagai gubernur ke Kebon Sirih.
Anies, sudahlah....
Deretan mata anggaran dengan angka yang fantastis ini membuat kita tertegun. Apa sebenarnya yang terjadi dengan Gubernur dan jajarannya di Pemda DKI?
Alasan salah ketik, salah input, dan sebagainya rasanya sulit diterima, karena begitu banyak mata anggaran yang menggelembung. Selain itu, pilihan barang dan jasa yang tercantum di mata anggaran itu rasa-rasanya jauh dari kebutuhan prioritas. Balapan formula E misalnya, yang menelan biaya triliunan rupiah. Event dengan anggaran luar biasa ini lagi-lagi disoroti oleh kader PSI. Secara logis, angka fantastis itu mungkin sebanding dengan event yang akan diselenggarakan. Balap formula E memang bukan barang murah.
Persoalannya adalah, di tengah ancaman defisit anggaran di DKI, haruskah event itu digelar? Apa urgensinya untuk warga DKI? Jangan-jangan prestisius itu hanya untuk gagah-gagahan Anies, atau yang oleh kader PSI disebut sebagai upaya Anies membangun panggung bertaraf internasional untuk pencitraan dirinya.
Yang menyedihkan adalah, kesadaran warga DKI akan bahaya pengelolaan uang yang terkesan semberono dan seenak jidat pemimpinnya. Celakanya, di tengah arus protes dan kebingungan khalayak tentang anggaran janggal itu anggota DPRD DKI dari PSI yang mengungkap kejanggalan itu justru dilaporkan ke Badan Kehormatan Dewan DPRD DKI. Adalah Sugyanto, Ketua Koalisi Pemerhati Jakarta Baru, yang melaporkan William Aditya Sarana ke BKD DPRD DKI.
Menurut Sugyanto, tindakan William mengunggah anggaran janggal di sosial media telah menimbulkan kegaduhan dan membuat jelek citra Anies Baswedan sebagai gubernur DKI. Tentu saja hak Sugyanto untuk menempuh jalan hukum perlu dihargai. Tapi upayanya menegakkan citra Anies justru menimbulkan pertanyaan, mengapa Sugyanto tidak melaporkan masalah yang lebih esensial terkait dengan pengelolaan anggaran yang tidak becus di Pemda DKI? Menyelamatkan uang rakyat dari bancakan para maling berdasi jauh lebih bermartabat daripada sekedar menjaga marwah pemimpin yang sepertinya tidak bisa menjaga marwahnya sendiri.
Bagaimana bisa rakyat mengawasi gubernurnya, kalau para wakil mereka yang diberi mandat saja ternyata lebih memikirkan sopan santun dalam menyingkap kejanggalan yang dilakukan pihak eksekutif. Bagaimana mungkin polisi yang menangkap maling justru diberi peringatan untuk lebih santun lagi ketika menangkap seorang birokrat. Jangan salahkan publik ketika kemudian mereka berasumsi tentang adanya kongkalingkong antara Gubernur DKI dengan para pejabat di Kebon Sirih.
Mencuatnya sejumlah kejanggalan dalam pengelolaan APBD di DKI selama masa kepemimpinan Anies membuat kita bertanya, apakah sudah tepat kita mempercayakan DKI ke tangan seorang Anies Rasyd Baswedan?
Yang pasti kita menunggu satu hal, menunggu Anies merasa malu dan akhirnya mengembalikan mandatya sebagai gubernur ke Kebon Sirih.
Anies, sudahlah....