Karikatur: tagar.id |
Heboh kemunculan anggaran ganjil dalam rancangan KUA-PPAS 2020 DKI Jakarta, benar-benar membuat kita semua tertegun. Bukan lagi soal harga yang tidak patut untuk sebuah item kebutuhan yang perbandinganya bak langit dan bumi. Lebih dari itu, kemunculan item sim salabim itu membuka mata kita bagaimana seorang birokrat mengelola uang negara yang seharusnya diperuntukkan demi sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.
Sudarman selaku Kasubag Tata Usaha Sudin Pendidikan Jakarta Barat Wilayah I mengaku dialah yang memasukan item lem ibon dalam rancangan tersebut. Ia juga menegaskan bahwa item itu dimasukannya secara sadar dan bukan sebuah kesalahan. Kok bisa? Menurut Sumartana hal itu dia lakukan karena pihak sekolah belum memasukan jenis barang yang dibutuhkan, sementara mereka harus mengunggah anggaran di sistem e-budgeting.
Sungguh pertanggungjawaban yang menggelikan. Bagaimana mungkin seorang kasubag memasukan item tanpa melakukan pengecekan terlebih dahulu? Bagaimana dana senilai 82 miliar dalam anggaran itu dibuat seperti permainan tebak-tebakan. Masukan saja lem ibon biar terlihat lengkap item-itemnya. Urusan harganya sesuai atau tidak, itu urusan belakangan. Yang penting deadline mengunggah anggaran di e-budgeting terpenuhi.
Miris rasanya menyimak penjelasan para birokrat seperti ini. Dari sini kita bisa mengetahui etos kerja dan disiplin mereka. Jika anggaran itu ditentukan oleh permintaan dari bawah, harusnya proses pra-penyusunan sudah dikerjakan jauh hari sebelum diunggah. Di sini dibutuhkan disiplin kerja yang tinggi, bukan semangat berleha-leha lalu mengejar tenggat di hari terakhir.
Jika ini yang terjadi maka peluang terjadinya kesalahan dan kesemerawutan penggunaan uang negara akan sangat besar. Barang-barang yang diadakan bisa saja bukan kebutuhan riil di lapangan; harga per item bisa jadi lahan permainan para mafia di bidang pengadaan; kogkalingkong antara penyedia dan pembeli barang dan jasa menjadi subur kembali.
Kalau lingkaran setan seperti ini terjadi, maka sistem e-budgeting jelas-jelas tidak sesuai. Karena e-budgeting tidak dirancang untuk operator yang tidak disiplin, malas dan punya naluri mencuri, seperti kata Ahok. Operator e-budgeting haruslah orang yang ulet, trampil dan tidak gaptek.
E-budgeting menggunakan sistem komputerisasi. Semua unsur sudah terdapat di dalamnya. Operator tinggal memasukan item-item yang diperlukan lengkap dengan budget, serta detil programnya. Sebagai sistem komputerisasi maka e-budgeting membutuhkan ketelitian dan tentu saja kejujuran. Karena dia akan mencatat segala sesuatu sesuai yang diinput. Maka Ahok benar ketika ia mengatakan bahwa sistem itu akan membantu dan berfungsi dengan sangat baik jika yang menginputnya tidak punya niat maling.
Selanjutnya, bagi mereka yang sudah terbiasa menggunakan sistem ini, tidak ada istilah salah input dalam e-budgeting. Yang ada adalah salah niat, niat memanipulasi atau niat 'mencolek' anggaran entah dengan cara mark up atau dengan mamasukan item-item fiktif. Tapi siapa pun yang melakukan itu, ia tidak akan lolos dari pemeriksaan, karena semua yang diinput akan terpampang secara jelas dan nyata di dalam sistem e-budgeting.
Dengan kata lain, e-budgeting diciptakan untuk mencegah terjadinya penyelewengan anggaran lewat cara-cara kotor. Setelah semuanya sudah diinput, sistem akan dikunci dan hanya bisa dibuka oleh orang tertentu saja. Karena itu, meski sistem ini bersifat transparan, dalam arti siapa saja bisa mengaksesnya, tapi tidak semua orang bisa mengubahnya. Karena itu tikus-tikus kantor tidak bisa diam-diam menyelinap lalu mengubah angka atau menambahkan item tertentu. Semuanya akan terbongkar.
Maka dari itu, aneh rasanya dan menimbulkan tanda tanya besar ketika Anies mengatakan bahwa banyak kesalahan peganggaran di DKI terjadi karena sistem e-budgeting. Sistemnya yang salah atau niat pengelola anggarannya yang nakal?
Dari uraian beberapa sumber tentang e-budgeting, bisa disimpulkan bahwa ada beberapa hal yang dituntut dari sistem ini yakni, transparansi, kejujuran, etos kerja yang baik, penyusunan program yang jelas, survey lapangan terkait kebutuhan yang valid, dan tentu saja standar moral para birokrat yang berkecimpung di dalam urusan anggaran.
Jika diperhatikan, semua syarat itu adalah bagian dari tuntutan pekerjaan di jaman modern yang didominasi oleh sistem digital ini. Maka pernyataan Anies yang berjanji akan meninggalkan sistem e-budgeting warisan Ahok ini, adalah satu langkah mundur lagi setelah sekian langkah mundur yang dilakukan Anies selama kurang lebih dua tahun menjabat posisi Gubernur DKI Jakarta.
Sangat disayangkan ibu kota negara dipimpin oleh figur yang terkesan tidak punya gagasan visioner. Ketua DPRD DKI Prsetyo Edy Marsudi bahkan heran Anies yang selalu mendapat predikat WTP dari BPK justru tidak memperlihatkan geliat pembangunan berarti. Taruhlah sarana dan prasarana jumbo mungkin tidak perlu lagi dibangun, tapi bagaimana dengan masalah toilet warga yang juga tidak terakomodir dalam serapan anggaran yang besaranya mencapai 80-an triliun?
Dalam bahasa kaum awam, ke mana sebenarnya APBD DKI itu diserap? Belum lagi pemasukan dari komisi setiap pembangunan gedung oleh perusahaan swasta di Jakarta. Dulu Ahok mengalihkan dana-dana tersebut untuk membangun fasilitas umum. Maka lahirlah puluhan Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) hingga bangunan paling monumental, Jembatan Susun Semanggi.
Semua itu dibangun tanpa mencolek dana APBD. Dulu Anies mengeritik sistem Ahok itu sebagai bentuk perselingkuhan pengusaha dengan birokrat. Dan kini di masa dia memerintah, ke manakah dana komisi dari setiap pembangunan yang ada di Jakarta? Adakah penjelasannya kepada publik?
Mungkin ini yang dimaksud dengan pernyataan Ahok, "Anies itu pintarnya kebangetan". Anies memang kebangetan pintarnya, karena dengan APBD DKI yang jumbo, ia mampu menyerap semuanya sampai terancam defisit, tapi tanpa jejak pembangunan yang membuat warga Jakarta berdecak kagum. Yang monumental di jaman Anies mungkin pembangunan trotoar yang diperlebar dengan mempersempit jalan, lalu sebagian trotoar diberikan kepada pedagang kaki lima.
Sementara pada masa Ahok memerintah, laporan keuangannya selalu mendapat predikat WDP dari BPK, karena APBD DKI selalu tersisa, sementara pembangunan fisik begitu gencar dilakukan. Inilah pembeda kecerdasan Ahok dengan Anies. Anies menyerap semua anggaran sampai terancam defisit, tapi minim jejak pembangunan fisik yang mencengangkan. Sebaliknya APBD DKI di jaman Ahok tak terserap semuanya, tapi jejak pembangunan fisiknya sangat mencolok.
Dengan kata lain, Anies pintar menghabiskan sementara Ahok pandai menyisihkan. Jangan heran, di jaman Ahok banyak kebutuhan mendesak mendapat respon cepat, tapi di jaman Anies sudah jarang kita mendengar reaksi cepat seperti itu. Ahok bisa menggunakan dana operasionalnya untuk membantu rakyat yang benar-benar membutuhkan, sementara Anies yang merapel tunjangan dan dana operasional gubernur dan wakil gubernur sekaligus, belum terdengar melakukan hal yang setara dengan Ahok..
Warga DKI sebenarnya sudah move on dari Ahok dan tidak mau membanding-bandingkan Anies dengan gubernur pendahulunya itu. Tapi apa mau dikata, Anies seringkali melakukan blunder yang nyaris tidak pernah terjadi di masa Ahok menjadi Gubernur DKI. Benar ketika banyak yang memuji Ahok telah menaruh standar etos kerja yang tinggi buat para birokrat, sehingga ia akan selalu menjadi pembanding untuk siapa pun yang duduk di kursi DKI 1.