Pada Agustus, menyambut pelantikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta, https://melekpolitik76.blogspot.com/ menurunkan sebuah artikel tentang harapan akan hadirnya gebrakan dari para kader Partai Solidaritas Indonesia (PSI) di Kebon Sirih. (Baca: Menunggu Gebrakan Para Kader PSI Di Kebon Sirih).
Dalam tulisan tersebut, ada harapan pada para kader PSI yang duduk sebagai anggota legislatif DKI di Kebon Sirih, setelah melihat spirit para kader PSI yang begitu bersemangat menghadirkan pembaharuan di lingkup pemerintahan DKI Jakarta. Juga ada satu keyakinan bahwa para kader PSI yang rata-rata kawula muda itu mampu membuat perbedaan di Kebon Sirih.
Mereka pun membuktikannya. Gebrakan pertama yang mereka lakukan adalah menolak PIN emas yang akan disematkan pada anggota DPRD DKI. Logika mereka sederhana tapi rasional yakni bahwa, emas adalah simbol apresiasi bagi para juara. Bagaimana mungkin anggota DPRD DKI yang baru akan dilantik disematkan PIN emas sementara kinerja mereka belum terbukti.
Dan hari-hari ini publik Jakarta dan seluruh Indonesia diberi suguhan epic kinerja para kader PSI di Kebon Sirih. Skandal lem aibon senilai 82 miliar dan ballpoint senilai 123 miliar dalam daftar APBD DKI dibongkar oleh kader PSI. Adalah William Adtya Sarana yang pertama kali mengangkat skandal anggaran lem aibon tersebut.
Awalnya William penasaran mengapa APBD DKI belum bisa diakses publik lewat situs apbd.jakarta.go.id, padahal pembahasan anggaran sudah berjalan di DPRD. William pun coba mengakses situs resmi Pemda DKI itu dan, terbongkarlah anggaran tipu-tipu di dalam APBD DKI. William lalu mencuitkan kejanggalan tersebut di media sosial dan langsung mendapat reaksi dari warga net. Dengan perasaan kesal dan gundah karena melihat wajah DKI yang kembali amburadul di tangan Anies, netizen pun ramai-ramai memviralkan masalah anggaran tersebut.
Setelah ramai dibicarakan, barulah Anies dan jajarannya tampil memberi klarifikasi. Namun semakin banyak klarifikasi, masyarakat justru semakin yakin akan amburadulnya sistem pengelolaan ibu kota di tangan Anies Rasyd Baswedan, meski ia sudah dibantu 70-an anggota TGUPP. Kesemerawutan itu tampak dari jawaban para pemangku kepentingan yang berbeda-beda.
Pejabat Dinas Pendidikan sempat mengatakan kalau itu terjadi karena slah input, lalu merevisi pernyataan itu menjadi kesalahan saat mengetik, hingga akhirnya anggaran lem aibon hilang dari daftar APBD DKI.
Mengapa hilang, atau persisnya dihilangkan? Jawabannya terungkap dari pernyataan Sumartana, selaku Sudin pendidikan wilayah satu, yang membawahi wilayah Jakarta Barat. Sumartana mengaku dialah yang menginput lem aibon ke dalam daftar anggaran untuk dinas pendidikan. Tapi menurut Sumartana masuknya lem aibon sebagai salah satu item dalam daftar anggaran untuk sektor pendidikan di DKI semata-mata karena ia asal milih saja item yang hendak dimasukkan.
Lebih mengerikan lagi pertanggungjawaban mereka tentang anggaran yang terkesan seperti sim salabim itu. Sumartana selaku Sudin Pendidikan untuk Jakarta Barat tanpa malu bicara di depan media massa dan mengatakan bahwa yang terjadi pada kasus lem aibon 82 miliar adalah karena dia asal milih saja itemnya. Sungguh sebuah pernyataan publik paling semberono dari seorang pejabat publik pula.
Tapi dari kasus ini kita semua jadi tahu apa yang terjadi dengan DKI. DAn ada beberapa hal yang bisa kita tangkap dari penjelasan Anies dan semua jajarannya dalam skandal budgeting ini.
Pertama, proses penganggaran terkesan top down. Pihak pembuat anggaran di dinas sudah menentukan besaran budget serta item yang akan dibelanjakan. Ini tercermin dari pernyataan Sumartana selaku Sudin Wilayah satu, juga orang yang memasukan lem aibon di dalam daftar ABD DKI.
Ini sangat berbahaya dan semberono, karena barang yang didaftar bisa saja tidak sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Dalam kasus seperti ini, peluang tawar menawar antara pembuat anggaran dengan pihak yang mengajukan permintaan barang, sangat mungkin terjadi. Selain itu anggaran per item bisa saja menjadi lahan permainan antara pembuat anggaran dengan produsen pemasok barang.
Kedua, SDM Pemda DKI di bawah kepemimpinan Anies kemungkinan besar banyak yang gaptek dan tidak bisa menggunakan sistem e-budgeting dengan baik dan benar. Ini tercermin dari jawaban Anies Baswedan yang menyalahkan sistem e-budgeting warisan Ahok. Menurut Anies setiap tahun terjadi kesalahan soal input anggaran karena sistem e-budgeting yang dibuat Ahok.
Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa Ahok dan timnya dulu bisa mengaplikasikan sistem itu dengan baik? Terkait hal ini, Ahok pun memberi jawaban cerdas dengan mengatakan, Anies Baswedan itu pintarnya kebangetan. Entah apa maksud Ahok dengan kepintaran Anies yang kebangetan itu. Tapi menurut Ahok, sistem e-budgeting merupakan salah satu cara ampuh untuk mencegah terjadinya 'permainan' anggaran. Ahok juga menegaskan bahwa hanya mereka yang berniat maling uang negara yang mengatakan bahwa sistem e-budgeting tidak bagus dan banyak menimbulkan persoalan.
Anies memang pintar luar biasa, pintar menata kata. Simak saja bagaimana ia memberikan penjelasan tentang skandal anggaran dalam APBD DKI. Pernyataannya rumit dipahami akal sehat orang kebanyakan. Dan kini Anies dengan tegas mengatakan akan meninggalkan sistem e-budgeting yang selama ini sudah dijadikan barometer kejujuran para pembuat anggaran di semua instansi Pemda DKI.
Akhirnyam di atas semua polemik yang terjadi, sekali lagi mari ucapkan selamat kepada para kader muda PSI di Kebon Sirih. Sebab berkat kejelian dan sikap kritis merekalah skandal anggaran di Pemda DKI terbongkar. Jangan minder jika Anies meremehkan kalian sebagai pendatang baru yang sedang cari panggung. Pertajam terus daya kristis kalian, jangan biarkan DKI dibodohi mereka yang pandai membual tapi tidak pandai bekerja.
Bravo PSI!!