Semakin lama, Rocky Gerung semakin memamerkan arogansi akademiknya. Bermodal ilmu filsafat yang dimilikinya Rocky bisa memutarbalikan semua hal dengan alur logika yang meyakinkan. Publik Indonesia yang tak terbiasa dengan dalil-dalil dan pemikiran filsafat pun dibuat tercengang mendengar orasi filosofis Rocky yang terkesan begitu meyakinkan.
Yang terbaru, Rocky seperti menyetrum nalar seluruh anak bangsa dengan mengatakan bahwa Pacasila telah gagal sebagai Ideologi. Kegagalan itu menurut Rocky terpatri secara inheren di dalam setiap sila Pancasila. Menurut Rocky sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa bertentangan dengan sila kedua, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.
Menurut Rocky sila pertama bermakna, segala perbuatan manusia hanya berarti jika diarahkan ke langit (sebagai analogi Tuhan). Sebaliknya, sila kedua berarti kemanusiaan akan berarti jika ia berbuat baik. Jika orang berbuat baik agar masuk surga, maka kemanusiaannya adalah palsu.
Rocky dengan jelas mempertentangkan antara theisme dan humanisme. Theisme berkaitan dengan hal-hal transendental, dalam konteks ini adalah ketuhanan, sementara humanisme berhubungan dengan keduniawian, hal-hal fana. Dalam diskursus filsafat, kaum humanisme memang cenderung jatuh ke dalam atheisme. Agama dan tuhan kaum humanisme adalah kebaikan, berbuat baik terhadap sesama dan alam semesta.
Tapi adakah atheisme murni dalam humanisme? Secara logika sebenarnya tidak ada atheisme. Sebagai pengingkaran akan eksistensi Tuhan, atheisme selalu mengandaikan keberadaan Tuhan. Sebab bagaimana seorang athesime menyangkal atau mengingkari sesuatu yang tidak ada?
Sayangnya Rocky tidak memahami Pancasila dalam kacamata Soekarno sang pencetusnya. Ketuhanan dan Kemanusiaan dalam sila pertama dan kedua Pancasila dirumuskan Soekarno dari latar belakang Indonesia yang beragam. Keberagaman itu harus diikat oleh satu unsur yang bersifat universal yakni, kemanusiaan. Kemanusiaan yang universal ini pula yang membawa Indonesia berhubungan dengan warga negara dan bangsa yang lain di dunia.
Sila Ketuhanan pun dirumuskan di atas fakta keberagaman agama yang ada di Indonesia. Ketuhanan yang dimaksudkan di sini bukan dalam pemahaman koseptual dan filosofis seperti yang dimaknai Rocky Gerung. Lebih dari itu, sila Ketuhanan adalah cara Soekarno merangkul keberagaman agama yang ada di Indonesia. Itu konteksnya. Jadi mempertentangkan sila Ketuhanan dan Kemanusiaan dalam sila pacasila sama saja dengan tidak memahami Pancasila.
Terkait sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, ini merupakan ekspresi semangat Soekarno untuk menghadirkan makna kemerdekaan yang sesungguhnya. Dia tidak bicara konsep keadilan dalam perspektif tertentu, seperti komunis, liberalis, dan sebagainya. Sebaliknya, sila ini dimaknai sebagai cara pandang yang sepadan terhadap seluruh warga negara yang ada di dalam wilayah kesatuan Republik Indonesia.
Terkait pernyataan Rocky tentang Pancasila yang gagal sebagai ideologi, ini adalah logika sesat, akibat pemahaman yang salah tentang keterkaitan pasal demi pasal dalam kelima sila Pancasila. Pancasila sebagai ideologi tidak bisa dimaknai hanya sebatas konsep tanpa konteks. Dan inilah kekeliruan Rocky ketika ia bicara Pancasila. Ia memahami Pancasila sebagai Ideologi dalam kerangka konseptual dan filosofis semata.
Mengatakan Pancasila gagal sebagai Ideologi adalah kekeliruan paling akut Rocky Gerung. Sebagai ideologi, Pancasila adalah pedoman sekaligus standar dalam menghayati kehidupan bernegara dan berbangsa di negeri ini. Bayangkan nasib bangsa Indonesia tanpa Pancasila sebagai dasar sekaligus perekat antarelemennya.
Rocky juga mengatakan bahwa negara tidak bisa punya ideologi, karena ia adalah benda mati. Ideologi hanya dimiliki oleh manusia yang hidup. Ini juga salah satu kekeliruan akut Rocky Gerung. Negara dalam perspektif Rocky Gerung tidak lebih dari wilayah tanpa warga atau teritori tanpa penghuni.
JJ Rosseau dalam bukunya Du Contract Social mengatakan bahwa negara terbentuk oleh perjanjian sosial antar individu yang kemudian berhimpun dalam satu kelompok, lalu bersatu dalam negara. Sebagai batasan wilayah dengan penduduk yang sebelumnya berjuang untuk keselamatan diri sendiri, jelas negara harus memiliki ideologi, sebuah cara pandang bersama warganya.
Sudah sering Rocky menimbulkan kegemparan sosial karena pernyataannya yang out of the box. Sebagai sebuah permainan logika, apa yang diungkapkan Rocky tidak bisa disalahkan. Namun dalam konteks kehidupan sosial bernegara, pernyataan Rocky juga perlu dikritisi. Kita tidak bisa, hanya karena keterbatasan kemampuan berargumentasi, lalu menempatkan Rocky sebagai standar kebenaran. Sebab kebenaran tidak bisa dikunci di dalam pikiran yang melahirkan konsep dan gagasan. Ia harus menyentuh realita. Karena kebenaran sejatinya adalah, adaequatio rei et intellectus, persesuaian antara ide (apa yang dipikirkan) dengan realita.
Dan, kesalahan terbesar Rocky Gerung adalah, menempatkan dirinya sebagai kebenaran absolut dengan menganggap yang lain sebagai orang dungu. Padahal manusia adalah pencari kebenaran, dan itulah esensi filsafat, disiplin ilmu yang digeluti Rocky Gerung.