Polemik terkait perpanjangan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) organisasi kemasyarakatan Front Pembela Islam (FPI), menjadi topik pembicaraan yang hangat saat ini. Polemiknya semakin hangat karena ada kesan ketidaksinkronan antara Menteri Agama, Fachrul Razi dengan Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian.
Di satu sisi, Fachrul memberi signal positif terkait SKT untuk FPI. Sementara di sisi lain, Tito Karnavian belum bisa memberikan angin segar kepada organisasi pimpinan Rizieq Shihab ini. Menurut Tito ada persoalan krusial di dalam AD/ART FPI yang memuat visi dan misi khilafah di Indonesia.
Sementara itu, dari arah berbeda muncul aspirasi publik yang menghendaki pemerintah segera membekukan izin organisasi berbasiskan agama ini. Di sosial media berbagai hastag dibuat dengan tujuan mengingatkan pemerintah akan rekam jejak FPI yang dinilai banyak melakukan tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai kerukunan hidup di negara dengan kemajemukan latar belakang penduduknya ini.
Saya tidak hendak memperpanjang apalagi mempertajam polemik yang sedang bergulir, melainkan hanya ingin memberi perspektif baru dalam menyikapi polemik yang sudah banyak menguras tenaga dan pikiran bangsa.
Pada prinsipnya setiap warga negara dijamin haknya oleh undang-undang untuk berserikat dan berkumpul, serta menyampaikan aspirasi lewat saluran-saluran yang tidak bertentangan dengan hukum. Inilah jaminan absolut dari negara yang berdiri tegak di atas landasan UUD dengan berbagai hukum turunannya.
Artinya, organisasi apa pun dijamin kehidupannya oleh negara berdasarkan amanat UUD. Amanat ini berlaku untuk semua warga negara, bukan hanya untuk warga negara tertentu atau agama, dan suku serta ras tertentu. Karena itu, tidak diperkenankan sebuah kelompok atau golongan mendirikan sebuah perkumpulan atau perserikatan atau organisasi dengan visi, misi dan aksi yang menyunat hak dan kewajiban negara lain.
Jadi landasan utama semua organisasi adalah hukum dan undang-undang dasar negara, sehingga sangat tidak dibenarkan apabila sebuah organsiasi, entah karena jumlah massanya atau karena kekuatan sosio-politik dan budaya, berhak mendiktekan kehendaknya kepada negara. Juga tidak dibenarkah apabila sebuah organisasi mengemban visi dan misi yang bertentangan dengan dasar dan falsafah negara. Dengan kata lain, sebuah organisasi tidak bisa menjadi semacam negara dalam negara.
Dengan berpedoman pada landasan legal dasar inilah sebuah organisasi dievaluasi apakah wataknya sesuai dengan iklim hidup berbangsa dan bernegara di Indonesia atau tidak. Dan bukan sesuatu yang sulit untuk mengenal watak sebuah organisasi di era keterbukaan informasi seperti sekarang ini. Apalagi jika organisasi yang bersangkutan memiliki aktivitas yang sangat menonjol di tengah masyarakat. Rekam jejaknya sangat mudah ditelusuri.
Sebagai organisasi besar, sudah saatnya FPI merefleksikan eksistensi dan perannya bagi kehidupan sosial dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sampai di sini dibutuhkan kejujuran dan kearifan. Bila FPI merasa bagian dari, serta hidup untuk kemajuan NKRI, inilah saatnya FPI mengevaluasi kembali setiap jejak langkahnya.
Seberapa besar kontribusi NKRI bagi kemajuan negara ini? Seberapa besar peran FPI dalam memperkuat ikatan antar elemen bangsa yang beragam? Seberapa banyak aksi FPI, entah secara organisasi atau oleh oknum yang mengatasnamakan organisasi, yang telah justru mengancam persatuan dan kesatuan bangsa?
Apakah FPI sudah punya cukup andil dalam menegakkan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara, atau justru melakukan aksi-aksi yang bertentangan dengan Pancasila? Adakah misi terselubung di balik setiap aksi yang dilakukannya?
Semua point refleksi ini harus dijawab dalam terang nilai-nilai Pancasila dan undang-undang dasar negara dan bukan semata-mata atas platform atau statuta organisasi sendiri. FPi tidak bisa mengukur kadar kelayakan dirinya hidup di Indonesia dengan standarnya sendiri.
Jika FPI ingin menjadi organisasi besar dan diakui seluruh lapisan masyarakat, maka ia harus jujur terlebih dahulu dengan dirinya sendiri. Jika tidak, polemik panjang yang terjadi sekarang hanya akan menjadi sebuah debat kusir.
Dengan berpedoman pada landasan legal dasar inilah sebuah organisasi dievaluasi apakah wataknya sesuai dengan iklim hidup berbangsa dan bernegara di Indonesia atau tidak. Dan bukan sesuatu yang sulit untuk mengenal watak sebuah organisasi di era keterbukaan informasi seperti sekarang ini. Apalagi jika organisasi yang bersangkutan memiliki aktivitas yang sangat menonjol di tengah masyarakat. Rekam jejaknya sangat mudah ditelusuri.
Sebagai organisasi besar, sudah saatnya FPI merefleksikan eksistensi dan perannya bagi kehidupan sosial dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sampai di sini dibutuhkan kejujuran dan kearifan. Bila FPI merasa bagian dari, serta hidup untuk kemajuan NKRI, inilah saatnya FPI mengevaluasi kembali setiap jejak langkahnya.
Seberapa besar kontribusi NKRI bagi kemajuan negara ini? Seberapa besar peran FPI dalam memperkuat ikatan antar elemen bangsa yang beragam? Seberapa banyak aksi FPI, entah secara organisasi atau oleh oknum yang mengatasnamakan organisasi, yang telah justru mengancam persatuan dan kesatuan bangsa?
Apakah FPI sudah punya cukup andil dalam menegakkan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara, atau justru melakukan aksi-aksi yang bertentangan dengan Pancasila? Adakah misi terselubung di balik setiap aksi yang dilakukannya?
Semua point refleksi ini harus dijawab dalam terang nilai-nilai Pancasila dan undang-undang dasar negara dan bukan semata-mata atas platform atau statuta organisasi sendiri. FPi tidak bisa mengukur kadar kelayakan dirinya hidup di Indonesia dengan standarnya sendiri.
Jika FPI ingin menjadi organisasi besar dan diakui seluruh lapisan masyarakat, maka ia harus jujur terlebih dahulu dengan dirinya sendiri. Jika tidak, polemik panjang yang terjadi sekarang hanya akan menjadi sebuah debat kusir.