Sudah diduga jauh hari sebelumnya kalau orang seperti Ahok tidak akan dibiarkan 'nganggur' oleh Jokowi. Kurang lebih dua tahun bekerja sama dengan pria kelahiran Belitung itu, Jokowi paham benar karakter dan etos kerjanya. Maka ketika waktunya tiba, Jokowi kembali memanggil Ahok untuk membantunya. Memang Jokowi tidak memberi Ahok kursi menteri, tetapi tugas yang akan dimandatkan kepada mantan Gubenur DKI itu sangat-sangat penting dan strategis pula.
Ahok diberi mandat oleh Jokowi melalui Menteri BUMN, Erick Thohir. Erick pun sudah memanggil Ahok, dan kini santer diberitakan bahwa Ahok akan menduduki posisi dirut BUMN, meski belum pasti dimana ia akan diplot, di Pertamina atau PLN atau BUMN yang lain. Namun banyak kalangan menduga Ahok bakal diplot untuk kursi Dirut Pertamina.
Mari berandai saja, Ahok diplot sebagai Dirut Pertamina. Ini adalah salah satu BUMN yang sangat strategis dan berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Melihat profil dan sumber daya yang dikuasainya, harusnya badan usaha plat merah ini bisa diandalkan sebagai salah satu tambang devisa negara. Ironisnya selama ini, kinerja dan hasil kerja Pertamina sebagai perusahaan plat merah, ternyata tidak sebesar namanya.
Dalam hal ketersediaan minyak misalnya. Sejak kecil saya mendengar bahwa kita adalah negara yang kaya akan sumber daya alam, termasuk minyak bumi. Konon jika eksplorasinya optimal dan pengelolaannya jujur dan profesional, maka kita bisa menjadi negara pengekspor minyak dunia. Tapi apa lacur, boro-boro mengekspor, untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri saja Pertamina nyaris kehabisan 'nyawa'.
Celakanya lagi, karena tekor dan defisit stok dan pasokan, pemerintah terpaksa mengeluarkan anggaran triliunan untuk subsididi BBM. Edan, rek! Negara penghasil minyak tak mampu mencukup stok dalam negeri sampai harus diguyur fulus subsidi.
Di berbagai media massa dan diskusi publik kita mendengar berbagai spekulasi tentang sebab musabab kondisi timpang antara produksi dan konsumsi minyak di dalam negeri. Pertamina konon tidak punya kilang minyak yang bisa mengolah minyak mentah menjadi minyak jadi. Maka kita hanya bisa menggali minyak mentah untuk dijual, lalu kita membeli minyak jadi dari luar.
Dari sini saja sudah ketahuan kenapa stok kita selalu minus. Kalau kita menjual minyak mentah, tentu harganya jauh lebih rendah daripada ketika kita membeli minyak jadi. Sederhananya begini, kita ibarat pedagang kambing yang menjual seekor kambing lalu membeli sate, daging sapi yang sudah diolah. Harga satu ekor kambing, bisa dilunasi dengan 200 porsi sate, sementara untuk membuat 200 porsi sate, tukang sate barangkali hanya butuh setengah dari kambing yang kita jual tadi. Jadi paham kan, siapa yang untung dan siapa yang buntung?
Apakah para pemangku kekuasaan dan kebijakan di Kementerian BUMN secara general atau dan Pertamina secara spesifik, tidak menyadari hal ini? Omong kosong besar kalau mereka tidak tahu dan tidak paham tentang kondisi buruk ini. Lalu mengapa dibiarkan selama puluhan tahun?
Sekarang mata kita terbuka melihat bahwa kondisi itu memang sengaja dikondisikan. Bukan oleh Pertamina sendiri, tetapi oleh perusahaan kakap yang selama ini mengendon, menimba susu dan madu dari bisnis minyak di Indonesia. Dulu kita punya Petral, sebuah badan bentukan rezim Orde Baru. Tujuannya adalah untuk mengontrol penjualan minyak kita agar tidak sampai loose control.
Nyatanya selama puluhan tahun Petral ibarat pagar makan tanaman. Bukannya menjadi pengontrol, Petral malah ikut bermain sebagai rente dengan pengusaha-pengusaha kakap di dalamnya. Selama bertahun-tahun petral memonopoli lalu lintas penjualan dan perdagangan minyak, dan dominan juga dalam menentukan harga jual dan harga beli minyak di pasar. Sekali lagi, para rente berwajah pengusaha mengeruk untung sementara negara terus mendapat buntung.
Setelah Orde Baru tumbang, Petral tetap berdiri dengan gagah perkasa. Tidak ada satu pun presiden yang berani menyenggolnya, entah karena merasa tidak mampu menumpas barisan para cukung dan mafia yang bercokol di sana, atau tidak paham permainan kotor Petral, atau bisa jadi karena diam-diam dapat saweran juga dari Petral.
Petral kena batunya ketika Jokowi naik ke kursi RI-1 pada 2014. Tanpa tedeng aling-aling, ia memutuskan membubarkan Petral yang sejak lama berlagak sebagai penyelamat tapi nyatanya menjadi benalu dalam tubuh Pertamina. Tapi membubarkan Petral ternyata tidak serta merta membuat Pertamina sehat sepenuhnya. Para mafia sudah terlalu menggurita. Mungkin Jokowi sendiri kaget ketika ia memangkas satu, yang satu bereaksi dan memberikan perlawanan.
Jokowi sepertinya sulit menemukan figur yang mampu melepaskan diri dari cengkeraman gurita para mafia di bisnis perminyakan dalam negeri. Jika tidak segera bertindak, maka percuma membenahi perusahaan plat merah itu, karena hanya akan memberikan lahan lebih luas kepada para mafia. Mereka akan bergerak lebih leluasa.
Yang ingin dilakukan Jokowi adalah, bersihkan dulu mental penghuni dan para tamu dan koleganya, barulah rumahnya dibenahi. Dan pilihan Jokowi jatuh ke sosok Basuki Tjahaja Purnama alias BTP alias Ahok.
Mengapa Ahok?
Menghadapi kerumitan persoalan di BUMN seperti Pertamina, Jokowi membutuhkan orang yang bersih, bernyali singa, tapi juga cerdas dalam hal managerial. Jokowi butuh orang dengan paket komplit, jago di balik meja, tajam di lapangan. Dan Ahok adalah satu dari segelintir orang yang memenuhi kriteria tersebut.
Sekarang mata kita terbuka melihat bahwa kondisi itu memang sengaja dikondisikan. Bukan oleh Pertamina sendiri, tetapi oleh perusahaan kakap yang selama ini mengendon, menimba susu dan madu dari bisnis minyak di Indonesia. Dulu kita punya Petral, sebuah badan bentukan rezim Orde Baru. Tujuannya adalah untuk mengontrol penjualan minyak kita agar tidak sampai loose control.
Nyatanya selama puluhan tahun Petral ibarat pagar makan tanaman. Bukannya menjadi pengontrol, Petral malah ikut bermain sebagai rente dengan pengusaha-pengusaha kakap di dalamnya. Selama bertahun-tahun petral memonopoli lalu lintas penjualan dan perdagangan minyak, dan dominan juga dalam menentukan harga jual dan harga beli minyak di pasar. Sekali lagi, para rente berwajah pengusaha mengeruk untung sementara negara terus mendapat buntung.
Setelah Orde Baru tumbang, Petral tetap berdiri dengan gagah perkasa. Tidak ada satu pun presiden yang berani menyenggolnya, entah karena merasa tidak mampu menumpas barisan para cukung dan mafia yang bercokol di sana, atau tidak paham permainan kotor Petral, atau bisa jadi karena diam-diam dapat saweran juga dari Petral.
Petral kena batunya ketika Jokowi naik ke kursi RI-1 pada 2014. Tanpa tedeng aling-aling, ia memutuskan membubarkan Petral yang sejak lama berlagak sebagai penyelamat tapi nyatanya menjadi benalu dalam tubuh Pertamina. Tapi membubarkan Petral ternyata tidak serta merta membuat Pertamina sehat sepenuhnya. Para mafia sudah terlalu menggurita. Mungkin Jokowi sendiri kaget ketika ia memangkas satu, yang satu bereaksi dan memberikan perlawanan.
Yang ingin dilakukan Jokowi adalah, bersihkan dulu mental penghuni dan para tamu dan koleganya, barulah rumahnya dibenahi. Dan pilihan Jokowi jatuh ke sosok Basuki Tjahaja Purnama alias BTP alias Ahok.
Mengapa Ahok?
Menghadapi kerumitan persoalan di BUMN seperti Pertamina, Jokowi membutuhkan orang yang bersih, bernyali singa, tapi juga cerdas dalam hal managerial. Jokowi butuh orang dengan paket komplit, jago di balik meja, tajam di lapangan. Dan Ahok adalah satu dari segelintir orang yang memenuhi kriteria tersebut.