Warga DKI kembali harus gigit jari. Baru saja diberitakan bahwa DKI terancam mengalami defisit anggaran, kini heboh pemberitaan tentang anggaran pengadaan lem aibon dengan harga yang abnormal yakni, 82 miliar rupiah. Selain anggaran pembelian lem aibon, juga terdapat anggaran pembangunan jalur sepeda senilai 73,7 miliar. DKI memang beda!
Anggaran dengan nilai fantastis itu diungkap oleh William Aditya Sarana yang merupakan anggota DPRD DKI dari PSI. William sempat bingung mengapa APBD DKI belum bisa diakses publik, padahal pembahasan anggaran sudah dimulai di DPR. Merasa janggal dengan hal tersebut, William pun mencoba mengakses situs apbd.jakarta.go.id. Rupanya ada yang janggal dibalik tertutupnya situs anggaran DKI itu. Dan ketika berhasil mengaksesnya, Willian menemukan gulungan rupiah yang sangat banyak untuk pos yang sebenarnya receh, lem aibon.
Dalam hitung-hitungan normal William, jika anggaran sebanyak itu direalisasaikan, berarti setiap bulan Dinas Pendidikan (Disdik) DKI menyuplai dua kaleng lem aibon untuk masing-masing siswa yang jumlahnya 37.500. Itu pun jika jumlah siswa yang hendak disuplai lem ini tidak dimark up. Tapi biasanya sebuah kejahatan akan diikuti oleh kejahatan lain.
Dari lem aibon yang hargnya hampir setara emas itu, terungkaplah sederet anggaran yang rasa-rasanya terlalu fantastis untuk pos tertentu. Misalnya, anggaran pengadaan ATK untuk satu jenis ballpoint senilai 124 miliar. Belum lagi anggaran-anggaran lain yang selama ini dibicarakan seperti septic tank, perbaikan rumah gubernur, dan lain sebagainya yang nilainya tidak kurang dari kisaran miliaran.
Luar biasa, DKI seperti menjelma menjadi monster anggaran yang haus rupiah. Apalagi ia selalu mendapatkan kredit positif dari BPK dengan predikat WTP. Pokoknya serapan anggarannya bagus, semua terserap, entah diserap benar atau tidak. Yang penting laporannya bersih.
Tapi bukan Anies Baswedan jika tidak punya alibi menghadapi carut-marutnya mengurus Jakarta, termasuk anggaran sim salabim yang kini menjadi sorotan publik. Berbagai alasan dikemukakan mulai dari salah ketik, hingga menyalahkan sistem e-budgeting yang diinisiasi oleh gubernur pendahulu Anies, Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok.
Menurut Anies sistem e-budgeting yang digagas Ahok belum sempurna dan tidak smart karena tidak bisa mendeteksi kejanggalan input anggaran. Tapi sistem digital biasanya berjalan lurus. Jika input benar pasti outputnya juga benar.
Anies memang punya kadar kepintaran di atas rata-rata. Bayangkan saja, sistem e-budgeting yang pada masa Ahok mampu mendeteksi anggaran siluman berupa pengadaan flash disk dan UPS, masih belum sempurna di mata Anies. Mungkin ini bedanya gubernur yang dipilih atas dasar pertimbangan iman dengan gubernur yang dipilih atas dasar pertimbangan rasional.
Anehnya, setelah lebih dari setahun memerintah, Anies tidak juga mampu menciptakan sistem budgeting yang lebih baik dari sistem yang dibuat oleh Ahok yang oleh Anies dinilai belum optimal. Terkait hal ini pun bisa menyisakan pertanyaan dan diskusi yang panjang. Mengapa dulu Ahok bisa menerapkan sistem itu tanpa kendala berarti dan malah bisa mengungkap dana siluman?
Bukannya menyempurnakan sistem yang dibangun di atas prinsip transparansi itu, Anies malah membuat situs anggaran itu tertutup bagi publik. Inilah perubahan besar yang dirasakan warga DKI di awal Anies duduk di kursi gubernur. Dari semua yang serba terang, menjadi serba samar dan kabur. Kantor Gubernur yang dulu biasa terbuka untuk siapa saja, ditutup hingga dipasangi gorden tebal.
Tindakan Anies ini mengingatkan kita pada pernyataan Ahok menjelang masa akhir jabatannya sebagai Gubernur DKI. Dulu setelah menjalankan sistem e-budgeting Ahok dengan tegas mengatakan bahwa ia sudah menciptakan sistem budgeting yang transparan, sehingga terhubung dengan sejumlah lembaga berwenang lain di DKI. Tapi Ahok juga mempersilahkan jika setelah ia tak lagi menjabat gubernur DKI, pejabat baru mau mengubahnya. Tapi publiklah yang akan menilainya.
Sikap Anies yang 'melempar batu' kepada gubenur terdahulu adalah reaksi infantil dan menimbulkan kemuakan di segelintir kalangan. Bahkan secara logika, menyalahkan sarana teknis adalah salah satu bentuk kedunguan seorang pemimpin. Yang menjadi pertanyaan adalah, jika sistem itu tidak perform, mengapa Anies mau memakainya selama hampir dua tahun?
Bagaimana mungkin Anies yang kepintarannya di atas rata-rata itu mau dijajah sebuah sistem tanpa berusaha menciptakan solusi yang sempurna seturut kaca matanya sendiri? Kalau begini, Anies ibarat seorang siswa bengal yang menyontek kertas ujian teman, tapi balik menyalahkan temannya ketika ia tidak naik kelas.
Atau jangan-jangan 'menyalahkan' pendahulu hanya alibi setelah semua pengelolaan anggaran yang ditutup dari intipan publik, kini satu per satu dikuliti oleh anak-anak PSI dari Kebon Sirih. Apalagi 'anggaran tak masuk akal' seperti ini bukan baru sekali terjadi. Masih ada anggaran trotoar, renovasi rumah, septic tank, hiasan bambu, tugu batu, dan mungkin ada banyak lagi yang tidak tertangkap radar publik.
Lucunya lagi, Anies selaku penanggung jawab tertinggi anggaran Pemda DKI terkesan tak banyak tahu tentang 'ledakan' anggaran yang ada di wilayah administrasinya. Beda sekali dengan Ahok yang mengetahui secara rinci setiap rupiah yang dikeluarkan dalam buku anggaran, mulai dari pembangunan proyek jumbo sampai pembangunan pos polisi atau bahkan pos ronda.
Ketidaktahuan Anies inilah yang akhirnya memunculkan beraneka ragam jawaban setiap kali ada kecurangan yang terungkap ke publik. Tentang anggaran 82 miliar untuk membeli lem aibon misalnya, jawabannya beragam mulai dari kesalahan pengetikan, kelemahan sistem, hingga akhirnya angka fantastis itu hilang dari list APBD.
Ini memperkuat kecurigaan masyarakat kalau semua penjelasan yang diberikan pihak Pemda DKI tidak lebih dari sebuah mekanisme bela ego, atau sekedar alibi untuk menutupi kesalahan, dan lebih parah lagi, menutupi kecurangan pengelolaan APBD.
Tapi Anies memang gubenur luar biasa, bahkan boleh dibilang sakti. Karena di saat sejumlah kepala daerah dicokok KPK hanya karena menyelewengkan dana bernilai ratusan juta, Anies bisa bebas menghamburkan dana untuk hal-hal yang menurut sebagian orang sama sekali minim faedah.
KPK pun seperti menjauh dari kantor Gubernur DKI. Padahal di kantor ini terdapat dana yang jumlahnya berkelas jumbo karena DKI termasuk propinsi dengan APBD tertinggi di Indonesia. Tahun 2019 ini APBD DKI mencapai 86,8 triliun, sebuah angka yang sangat fantastis. Tapi dengan dana sebesar itu, adakah sesuatu yang mencolok selama masa pemerintahan Anies?
KPK mungkin lebih asyk menjadi koboi dengan aksi-aksi tangkap tangan, tapi tidak mampu menciptakan sistem pencegahan untuk menjegal para kepala daerah yang tidak becus mengelola anggaran. Rumor adanya laporan masyarakat tentang dugaan korupsi yang dilakukan Anies Baswedan, sampai sekarang menguap begitu saja. Berhadapan dengan Anies dan Pemda DKI, KPK seolah kehilangan taringnya.
Jangan heran publik lalu membuat konklusi sendiri tentang 'cinta terlaraang' antara Pemda DKI dengan KPK; antara Anies Baswean-Novel Baswedan-Bambang Wojojanto. Bambang adalah ketua TGUPP Anies yang juga mantan komisioner KPK. Publik mengira-ngira sendiri dengan mengatakan bahwa keberadaan Bambang di sisi Anies ibarat tameng untuk melindungi sang gubernur dari bidikan KPK. Sebagai orang yang pernah memipin lembaga antirasuah itu, Bambang tentu tahu bagaimana taktik melakukan zig zag angaran agar tak terena peluru KPK.
Selain Bambang, publik juga menarik benang merah psikologis antara 'duo Baswedan' Anies dan Novel. Satu duduk di Medan Merdeka Selatan, satunya berdiri dengan gagah di Kuningan. Sang adik sepupu di Kuningan konon adalah tokoh kunci yang menentukan perkara mana yang harus segera dinaikan ke status penyidikan, dan perkara mana yang cukup digantung saja buat pajangan pencitraan.
Jika ini benar terjadi, sungguh celakalah DKI. Moto maju kotanya, sejahtera warganya hanya tinggal retorika penglaris kampanye. Yang terjadi dalam kenyataan, amburadul kotanya, sengsara warganya. Potret nyatanya adalah ratusan warga di kawasan Jakarta Barat yang terpaksa numpang 'beol' di rumah tetangga karena tidak punya toilet.
Sementara Anies dan jajarannya di Medan Merdeka Selatan asyk menghamburkan uang untuk membeli lem aibon senilai 82 miliar. Dan di Kuningan sana para polisi tikus kantor sibuk mempertahankan eksistensinya yang nyaris dipunahkan lewat revisi UU No 32 Tahun 2002. Apalagi dalam hal mengelola anggaran dan aset, orang-orang di Medan Merdeka Selatan dengan Para penghuni Gedung di Kuningan seperti punya kemiripan.
Berkeliarannya mobil mewah hasil sitaan KPK di jalan raya, hanyalah salah satu contoh, kalau lembaga itu tidak bisa dianggap sebagai lembaga sakti dan suci lagi dalam pemberantasan korupsi. Ke depan, kolaborasi antara Tito Karnavian-Idham Aziz-Filri Bahuri, diharapkan menghadirkan pola baru dalam memberantas para mafia anggaran negara.