Publik mungkin berpikir betapa enaknya menjadi seorang tokoh seperti Amien Rais. Dengan ketokohannya politisi senior ini seakan bisa mengatakan dan melakukan apa saja tak peduli dampaknya terhadap siapa pun. Lidah Amien piawai memainkan kata-kata dengan diksi yang menggetarkan.
Entah karena tidak peduli, atau pura-pura tidak peduli dengan imbas dari pernyataannya, Amien Rais seolah enteng melontarkan pernyataan yang pada akhirnya memakan kredibilitasnya sendiri. Sebab di usianya yang sudah beranjak senja, pernyataan-pernyataan Amien hampir pasti menjadi pepesan kosong. Banyak pernyataannya yang tidak teruji kebenarannya dan terkesan 'asal njeplak'.
Amien seolah tidak paham bahwa kata-kata itu seperti pedang bermata dua. Ia bisa menyayat lawan tapi juga bisa mengiris diri sendiri. Ia misalnya, pernah mengatakan akan melengserkan Jokowi karena dianggap tak becus mengurus negara. Ia pun sesumbar mengatakan bahwa Soeharto saja bisa dilengserkan (apalagi hanya seorang Jokowi).
Amien Rais terkesan terlalu meremehkan Jokowi. Sepak terjang Jokowi selama lima tahun menjadi presiden sama sekali tidak diperhitungkan oleh Amien Rais. Selaput kebencian telah menutup matanya akan kemampuan Jokowi keluar dari berbagai tekakan politik yang tentu saja membuktikan bahwa Jokowi bukan sosok lemah yang mudah dijatuhkan.
Amien Rais terkesan terlalu meremehkan Jokowi. Sepak terjang Jokowi selama lima tahun menjadi presiden sama sekali tidak diperhitungkan oleh Amien Rais. Selaput kebencian telah menutup matanya akan kemampuan Jokowi keluar dari berbagai tekakan politik yang tentu saja membuktikan bahwa Jokowi bukan sosok lemah yang mudah dijatuhkan.
Tapi entah kenapa, Amien Rais mengabaikan semua kemampuan Jokowi yang oleh banyak orang dijuluki sebagai pemain catur politik paling handal. Celakanya, Amien terus melontarkan pernyataan yang justru membuat kredibilitas dirinya terus merosot. Ia misalnya pernah mengatakan bahwa Jokowi akan menjadi bebek lumpuh karena kekuasaannya akan redup.
Namun yang terjadi justru sebaliknya. Jokowi semakin perkasa seperti burung rajawali. Buktinya, ia mampu melunakkan dan bahkan menaklukan Prabowo, sehingga mantan calon presiden yang didukung Amien Rais itu bersedia menjadi pembantu Jokowi. Prabowo yang dulu oleh Amien Rais dan para sekutunya digadang-gadang sebagai calon macan Asia, kini menjadi bawahan Jokowi.
Ambisi Amien untuk melengserkan Jokowi dari kursi kepresidenan juga gagal total. Secara konstitusional, Amien dan para sekutunya tidak bisa membendung kemenangan Jokowi pada Pilpres 2019. Rancangan makar pun disusun dengan bungkusan gerakan people power. Tapi gerakan itu juga dengan cepat dipreteli Jokowi. Pentolan-pentolan aksinya ditangkap dan diseret ke jalur hukum atas sangkaan melakukan makar. Amien bahkan sempat dipanggil pihak kepolisian namun akhirnya lolos, atau mungkin 'diloloskan' dengan dalil yang dibuatnya.
Saya sesungguhnya sangat menyayangkan langkah yang dipilih Amien Rais. Harus diakui, Amien adalah salah satu tokoh nasional yang pernah dielu-elukan masyarakat. Bersama para mahasiswa, Amien berjasa membidani lahirnya reformasi. Walaupun sejumlah kalangan mempertanyakan peran Amien dalam gerakan reformasi '98. Sebab di mata sejumlah tokoh 98, seperti Adian Napitupulu, Amien adalah tokoh yang muncul di garis akhir dan seolah disodorkan sebagai pahalawan, alias pahlawan kesiangan.
Tapi sekecil apa pun, peran Amien memang tidak bisa dieliminir. Karena di sisi lain, sejarah mencatat Amien sebagai salah satu tokoh yang berani mengeritik Soeharto, presiden RI yang dikenal sangat otoriter. Lewat tulisan-tulisannya Amien membuat Soeharto dan kroni-kroninya tidak bisa tidur tenang dan menikmati sarapan hingga makan malam dengan lahap.
Pada rezim Orde Baru, Amien dan sejumlah tokoh ibarat anjing yang selalu menggonggong di dekat meja makan sang penguasa, sehingga membuatnya kehilangan nafsu makan. Makanan yang tidak dimakan itulah yang kemudian dibagikan kepada rakyat yang tidak mampu membeli pangan yang cukup.
Namun catatan cemerlang di masa lalu itu, kini sepertinya tidak lagi bernilai bagi sebagian rakyat di negeri ini oleh karena selain dikenal sebagai akademisi dan aktivis yang cerdas, Amien juga disemati julukan politisi licik dan penuh intrik. Presiden keempat RI, Abdurahman Wahid, adalah salah satu korban kelicikan dan intrik politik Amien Rais.
Atas prakarsa Amien yang membentuk poros tengah pada tahuun 99, Gus Dur didorong menjadi Presiden menyisihkan Megawati. Tapi setelah kurang lebih tiga tahun, Amien pula yang menginisiasi digelarnya sidang istimewah MPR dengan keputusan bersejarah, mencabut mandat Gus Dur sebagai Presiden RI.
Atas konspirasi politik yang menjatuhkan dan bahkan mempermalukan dirinya itu, Gus Dur pun melontarkan semacam ramalan plus kutukan. Gus Dur mengatakan bahwa, mereka-mereka yang terlibat dalam konspirasi itu kelak akan menjadi gelandangan politik.
Lihatlah Amien Rais sekarang. Di mata saya, ia semakin mirip dengan seorang pembual politik. Satu-satunya kekuatan yang dimiliki Amien sekarang adalah, kata-kata. Tapi dalam beberapa kasus ia sendiri tidak konsisten dengan kata-katanya. Sebagai contoh, pada Pemilu 2014 Amien yang kala itu mendukung pasangan Prabowo dan Hatta Rajasa diserang habis-habisan karena dianggap menjilat ludahnya sendiri. Pasalnya, Amien pernah melontarkan pernyataan agar Prabowo dimahmilkan karena dianggap bertanggung jawab atas tragedi Mei '98.
Ketika publik kembali mengingatkan hal tersebut, Amien malah menantang publik dengan sebuah nazar dimana ia akan berjalan kaki dari Jogja ke Jakarta, jika ada yang bisa menunjukkan bukti terkait pernyataannya itu. Entah karena usia atau karena ambisi politik, Amien lupa bahwa ingatan kolektif jauh lebih kuat daripada ingatan individu. Bukti yang diminta Amien pun disodorkan, tapi sampai detik ini ia tidak pernah memenuhi nazarnya.
Sejak saat itu, Amien sang tokoh besar di masa lalu menjadi bahan olok-olokan publik setiap kali ia melontarkan pernyataan keras terhadap pemerintah. Selain itu, masih banyak pernyataan Amien yang membuat kata-katanya, tidak bisa lagi diterima sebagai sebuah vision, sebuah spekulasi politik yang seringkali tidak meleset. Apalagi mereka yang pernah dijagokannya kemudian 'membangkang' dan merapat ke kubu lawan.
Pasca Pemilu 2014 PAN, Partai yang dibidani lahirnya oleh Amien Rais masuk kubu koalisi pemerintah. Dan kini, Prabowo yang dielu-elukan Amien sebagai sosok yang mampu menghadirkan masa depan Indonesia yang lebih baik, justru merunduk kepada Jokowi dan menjadi pembantunya.
Lalu bagaimana dengan Amien Rais?
Ia masih saja asyk dengan permainan kata-katanya. Yang terbaru, ia mengeluarkan semacam ultimatum kepada Kabinet Indonesia Maju yang baru saja dibentuk dan dilantik oleh Presiden Joko Widodo. Amien mengatakan, jika dalam tempo 6 bulan kabinet ini tidak bisa berbuat apa-apa, maka ia akan melakukan perhitungan.
Lidah memang tak bertulang, termasuk lidah Amien Rais. Perhitungan apa yang hendak dibuatnya dengan kabinet Jokowi-Amien? Di atas kertas, kekuatan politik Jokowi semakin kokoh dengan bergabungnya Prabowo ke dalam kabinet. Jadi akan sulit membuat sebuah gerakan dengan kekuatan politik yang tersisa.
Di sisi lain, dan ini yang paling penting untuk direnungkan seorang Amien Rais, ketokohan Amien sendiri tampaknya mulai kusam dan kumal. Kata-katanya tidak lagi menjadi acuan untuk melakukan sebuah gerakan, karena ia sendiri terbukti tidak bisa memenuhi janjinya. Amien lupa bahwa, ini adalah era keterbukaan, dimana setiap orang bisa melontarkan pernyataan apa saja. Tapi yang akan didengar dan diikuti publik adalah mereka yang mampu menyelaraskan kata-kata dengan tindakan nyata.
Apakah Amien sudah melakukan sinkronisasi kata dan perbuatannya? Apakah Amien bisa membuktikan bahwa segala perkataannya bertujuan demi kebaikan negeri, ketika ia sendiri berdiri di barisan orang-orang yang dikenal sebagai kaum intoleran, dan cenderung membuat dikotomi sosial berdasarkan identitas religius? Sadarkah Amien bahwa, sebagian masyarakat bahkan mulai mendefinisikan dirinya sebagai bagian dari kaum intoleran?
Memang sangat disayangkan tokoh sekelas Amien Rais kehilangan daya dobraknya. Dan itu terjadi karena ia sepertinya kehilangan elemen reflektif dalam dirinya. Di usianya yang semakin renta, Amien sejatinya melontarkan pemikiran-pemikiran reflektif, bukan reaktif.
Bereaksi terhadap sebuah peristiwa sangat jauh berbeda dengan merefleksikannya. Reaksi cenderung menjurus ke satu titik dengan dasar pertimbangan tunggal, sementara refleksi akan melahirkan aksi dengan pertimbangan multifaktor. Dan sepertinya Amien Rais lebih cenderung bereaksi ketimbang berefleksi.
Menurut saya, ini adalah bentuk kegagalan personal Amien menempatkan dirinya pasca ikut membidani lahirnya reformasi. Amien gagal mentransformasi dirinya menjadi tokoh bangsa, dan terus asyk dalam kedudukan sebagai aktivis dan politisi. Jangan heran, tutur kata dan tindak-tanduknya dinilai terlalu partisan walaupun dikemas dengan bungkusan nasionalis.
Ibarat seorang manusia, mungkin Amien sedang mengalami masa pubertas kedua, dimana ia kembali mencari dan menegaskan jati dirinya. Tapi sayangnya, tidak semua orang mau mengakuinya, tidak seperti ketika ia masih berada di era awal reformasi.
Saya sesungguhnya sangat menyayangkan langkah yang dipilih Amien Rais. Harus diakui, Amien adalah salah satu tokoh nasional yang pernah dielu-elukan masyarakat. Bersama para mahasiswa, Amien berjasa membidani lahirnya reformasi. Walaupun sejumlah kalangan mempertanyakan peran Amien dalam gerakan reformasi '98. Sebab di mata sejumlah tokoh 98, seperti Adian Napitupulu, Amien adalah tokoh yang muncul di garis akhir dan seolah disodorkan sebagai pahalawan, alias pahlawan kesiangan.
Tapi sekecil apa pun, peran Amien memang tidak bisa dieliminir. Karena di sisi lain, sejarah mencatat Amien sebagai salah satu tokoh yang berani mengeritik Soeharto, presiden RI yang dikenal sangat otoriter. Lewat tulisan-tulisannya Amien membuat Soeharto dan kroni-kroninya tidak bisa tidur tenang dan menikmati sarapan hingga makan malam dengan lahap.
Pada rezim Orde Baru, Amien dan sejumlah tokoh ibarat anjing yang selalu menggonggong di dekat meja makan sang penguasa, sehingga membuatnya kehilangan nafsu makan. Makanan yang tidak dimakan itulah yang kemudian dibagikan kepada rakyat yang tidak mampu membeli pangan yang cukup.
Namun catatan cemerlang di masa lalu itu, kini sepertinya tidak lagi bernilai bagi sebagian rakyat di negeri ini oleh karena selain dikenal sebagai akademisi dan aktivis yang cerdas, Amien juga disemati julukan politisi licik dan penuh intrik. Presiden keempat RI, Abdurahman Wahid, adalah salah satu korban kelicikan dan intrik politik Amien Rais.
Atas prakarsa Amien yang membentuk poros tengah pada tahuun 99, Gus Dur didorong menjadi Presiden menyisihkan Megawati. Tapi setelah kurang lebih tiga tahun, Amien pula yang menginisiasi digelarnya sidang istimewah MPR dengan keputusan bersejarah, mencabut mandat Gus Dur sebagai Presiden RI.
Atas konspirasi politik yang menjatuhkan dan bahkan mempermalukan dirinya itu, Gus Dur pun melontarkan semacam ramalan plus kutukan. Gus Dur mengatakan bahwa, mereka-mereka yang terlibat dalam konspirasi itu kelak akan menjadi gelandangan politik.
Lihatlah Amien Rais sekarang. Di mata saya, ia semakin mirip dengan seorang pembual politik. Satu-satunya kekuatan yang dimiliki Amien sekarang adalah, kata-kata. Tapi dalam beberapa kasus ia sendiri tidak konsisten dengan kata-katanya. Sebagai contoh, pada Pemilu 2014 Amien yang kala itu mendukung pasangan Prabowo dan Hatta Rajasa diserang habis-habisan karena dianggap menjilat ludahnya sendiri. Pasalnya, Amien pernah melontarkan pernyataan agar Prabowo dimahmilkan karena dianggap bertanggung jawab atas tragedi Mei '98.
Ketika publik kembali mengingatkan hal tersebut, Amien malah menantang publik dengan sebuah nazar dimana ia akan berjalan kaki dari Jogja ke Jakarta, jika ada yang bisa menunjukkan bukti terkait pernyataannya itu. Entah karena usia atau karena ambisi politik, Amien lupa bahwa ingatan kolektif jauh lebih kuat daripada ingatan individu. Bukti yang diminta Amien pun disodorkan, tapi sampai detik ini ia tidak pernah memenuhi nazarnya.
Pasca Pemilu 2014 PAN, Partai yang dibidani lahirnya oleh Amien Rais masuk kubu koalisi pemerintah. Dan kini, Prabowo yang dielu-elukan Amien sebagai sosok yang mampu menghadirkan masa depan Indonesia yang lebih baik, justru merunduk kepada Jokowi dan menjadi pembantunya.
Lalu bagaimana dengan Amien Rais?
Ia masih saja asyk dengan permainan kata-katanya. Yang terbaru, ia mengeluarkan semacam ultimatum kepada Kabinet Indonesia Maju yang baru saja dibentuk dan dilantik oleh Presiden Joko Widodo. Amien mengatakan, jika dalam tempo 6 bulan kabinet ini tidak bisa berbuat apa-apa, maka ia akan melakukan perhitungan.
Lidah memang tak bertulang, termasuk lidah Amien Rais. Perhitungan apa yang hendak dibuatnya dengan kabinet Jokowi-Amien? Di atas kertas, kekuatan politik Jokowi semakin kokoh dengan bergabungnya Prabowo ke dalam kabinet. Jadi akan sulit membuat sebuah gerakan dengan kekuatan politik yang tersisa.
Di sisi lain, dan ini yang paling penting untuk direnungkan seorang Amien Rais, ketokohan Amien sendiri tampaknya mulai kusam dan kumal. Kata-katanya tidak lagi menjadi acuan untuk melakukan sebuah gerakan, karena ia sendiri terbukti tidak bisa memenuhi janjinya. Amien lupa bahwa, ini adalah era keterbukaan, dimana setiap orang bisa melontarkan pernyataan apa saja. Tapi yang akan didengar dan diikuti publik adalah mereka yang mampu menyelaraskan kata-kata dengan tindakan nyata.
Apakah Amien sudah melakukan sinkronisasi kata dan perbuatannya? Apakah Amien bisa membuktikan bahwa segala perkataannya bertujuan demi kebaikan negeri, ketika ia sendiri berdiri di barisan orang-orang yang dikenal sebagai kaum intoleran, dan cenderung membuat dikotomi sosial berdasarkan identitas religius? Sadarkah Amien bahwa, sebagian masyarakat bahkan mulai mendefinisikan dirinya sebagai bagian dari kaum intoleran?
Memang sangat disayangkan tokoh sekelas Amien Rais kehilangan daya dobraknya. Dan itu terjadi karena ia sepertinya kehilangan elemen reflektif dalam dirinya. Di usianya yang semakin renta, Amien sejatinya melontarkan pemikiran-pemikiran reflektif, bukan reaktif.
Bereaksi terhadap sebuah peristiwa sangat jauh berbeda dengan merefleksikannya. Reaksi cenderung menjurus ke satu titik dengan dasar pertimbangan tunggal, sementara refleksi akan melahirkan aksi dengan pertimbangan multifaktor. Dan sepertinya Amien Rais lebih cenderung bereaksi ketimbang berefleksi.
Menurut saya, ini adalah bentuk kegagalan personal Amien menempatkan dirinya pasca ikut membidani lahirnya reformasi. Amien gagal mentransformasi dirinya menjadi tokoh bangsa, dan terus asyk dalam kedudukan sebagai aktivis dan politisi. Jangan heran, tutur kata dan tindak-tanduknya dinilai terlalu partisan walaupun dikemas dengan bungkusan nasionalis.
Ibarat seorang manusia, mungkin Amien sedang mengalami masa pubertas kedua, dimana ia kembali mencari dan menegaskan jati dirinya. Tapi sayangnya, tidak semua orang mau mengakuinya, tidak seperti ketika ia masih berada di era awal reformasi.