Kejahatan korupsi sudah sangat akut di negeri ini. Di tengah heboh terbongkarnya mata anggaran janggal di KUA-PPAS APBD DKI untuk tahun 2020, kita dikejutkan oleh kabar yang sangat memprihatinkan tentang adanya penyelewengan dana desa. Adalah Menteri Keuangan, Sri Muliani yang mengungkap isu tentang adanya desa fiktif yang masuk dalam daftar penerima dana desa. Desa fiktif atau yang oleh Sri Muliani menyebutnya sebagai desa hantu, adalah desa yang ternyata tidak punya penduduk, atau desa yang hanya punya nama tapi tidak punya wilayah dan penghuni.
Seperti diketahui, pemerintahan Jokowi sejak tahun 2015 menggelontorkan dana desa dengan jumlah yang cukup fantastis, sekitar 1,3 miliar rupiah untuk masing-masing desa. Jumlahnya pun meningkat dari tahun ke tahun. Tahun 2019 pemerintah menggelontorkan uang senilai 72 triliun, jumlah yang tdiak sedikit.
Kita semua tertegun mengetahui kenyataan ini. Bagaimana tidak, dana desa yang bertujuan menggenjot pembangunan dari desa demi tercapainya keadilan bagi seluruh rakyat hingga ke pelosok negeri, justru membawa serta virus korupsi. Harapan akan tumbuhnya desa sebagai pilar kemajuan negara lewat kucuran dana untuk membangun dan mengembangkan potensi desa malah melahirkan modus kejatahan baru.
Sejauh ini, diduga ada 34 'desa hantu' yang turut menerima dana desa. Bayangkan jika desa hantu itu sudah ada sejak awal program dana desa ini digulirkan. Berarti sudah ratusan miliar uang yang harusnya dikucurkan untuk membangun desa ditelan para pencipta 'desa hantu'.
Ini kejahatan serius dan karena itu harus ditangani secara serius pula. Jika kelak para pencipta 'desa hantu' ini terungkap, hukuman atas mereka haruslah dibuat tiga kali lebih berat dari para koruptor lain. Sebab para maling berkedok desa hantu itu telah secara langsung merusak salah satu misi pemerataan pembangunan hingga ke pelosok negeri.
Sejak diluncurkan pada tahun 2015, program dana desa sudah memberikan kontribusi berarti bagi desa, terutama desa-desa di daerah pinggiran Indonesia. Dari data yang dirilis Kementerian Desa, Pembangunan Desa Tertinggal dan Transmigarasi pada tahun 2017 dana desa yang disalurkan ke desa-desa telah dimanfaatkan untuk membangun infrastrukutru penunjang kegiatan di desa.
Tercatat 21.811 unit BUMDes, 5.220 unit Pasar Desa, 21.357 unit PAUD, dan 6.041 unit POLINDES. Pembangunan infrastruktur tersebut ternyata turut berdampak terhadap menurunnya angka pengangguran di desa, karena berpotensi menyerap tenaga kerja di desa.
Hal ini tentu saja sangat menggembirakan. Asumsinya, jika desa maju dan bertumbuh ekonominya maka angka kemiskinan akan menurun dan kesejahteraan sosial masyarakat di pedesaan meningkat. Jika desa terus bertumbuh dan memberikan potensi bagi berkembangnya sentra ekonomi mikro lewat BUMDes yang dibangun di desa-desa, maka itu akan mengurangi minat warga desa untuk hijrah ke kota dengan alasan mencari kehidupan yang lebih baik.
Tapi kejahatan memang selalu berdampingan dengan kebaikan. Di saat desa-desa yang kebagian kucuran dana desa itu sudah mulai menggeliat, tiba-tiba muncul isu penyelewengan dana desa dengan modus 'desa hantu'.
Terungkapnya dugaan kejahatan dengan modus desa hantu ini lagi-lagi memberikan gambaran betapa korupsi di negeri ini tidak bisa hanya mengandalkan operasi tangkap tangan. Tidak bisa juga hanya mengandalkan kerja KPK yang tangannya tidak sampai ke pelosok negeri. Pihak kepolisian dan jaksa harus digandeng dan dilibatkan dalam mengawal dana desa ini.
Jika tidak, selama lima tahun ke depan dana desa yang dikucurkan dari pusat ibarat menggantang asap. Semakin dikucurkan, semakin tidak menghasilkan apa-apa dan hanya meninggalkan bau amis korupsi. Mendagri dan Mendes PDT harus segera turun tangan dan mengusut tuntas kejahatan mengerikan ini.
Semoga cepat atau lambat, para mafia anggaran desa ini segera terciduk dan diadili seadil-adilnya.
Sejauh ini, diduga ada 34 'desa hantu' yang turut menerima dana desa. Bayangkan jika desa hantu itu sudah ada sejak awal program dana desa ini digulirkan. Berarti sudah ratusan miliar uang yang harusnya dikucurkan untuk membangun desa ditelan para pencipta 'desa hantu'.
Ini kejahatan serius dan karena itu harus ditangani secara serius pula. Jika kelak para pencipta 'desa hantu' ini terungkap, hukuman atas mereka haruslah dibuat tiga kali lebih berat dari para koruptor lain. Sebab para maling berkedok desa hantu itu telah secara langsung merusak salah satu misi pemerataan pembangunan hingga ke pelosok negeri.
Sejak diluncurkan pada tahun 2015, program dana desa sudah memberikan kontribusi berarti bagi desa, terutama desa-desa di daerah pinggiran Indonesia. Dari data yang dirilis Kementerian Desa, Pembangunan Desa Tertinggal dan Transmigarasi pada tahun 2017 dana desa yang disalurkan ke desa-desa telah dimanfaatkan untuk membangun infrastrukutru penunjang kegiatan di desa.
Tercatat 21.811 unit BUMDes, 5.220 unit Pasar Desa, 21.357 unit PAUD, dan 6.041 unit POLINDES. Pembangunan infrastruktur tersebut ternyata turut berdampak terhadap menurunnya angka pengangguran di desa, karena berpotensi menyerap tenaga kerja di desa.
Hal ini tentu saja sangat menggembirakan. Asumsinya, jika desa maju dan bertumbuh ekonominya maka angka kemiskinan akan menurun dan kesejahteraan sosial masyarakat di pedesaan meningkat. Jika desa terus bertumbuh dan memberikan potensi bagi berkembangnya sentra ekonomi mikro lewat BUMDes yang dibangun di desa-desa, maka itu akan mengurangi minat warga desa untuk hijrah ke kota dengan alasan mencari kehidupan yang lebih baik.
Tapi kejahatan memang selalu berdampingan dengan kebaikan. Di saat desa-desa yang kebagian kucuran dana desa itu sudah mulai menggeliat, tiba-tiba muncul isu penyelewengan dana desa dengan modus 'desa hantu'.
Terungkapnya dugaan kejahatan dengan modus desa hantu ini lagi-lagi memberikan gambaran betapa korupsi di negeri ini tidak bisa hanya mengandalkan operasi tangkap tangan. Tidak bisa juga hanya mengandalkan kerja KPK yang tangannya tidak sampai ke pelosok negeri. Pihak kepolisian dan jaksa harus digandeng dan dilibatkan dalam mengawal dana desa ini.
Jika tidak, selama lima tahun ke depan dana desa yang dikucurkan dari pusat ibarat menggantang asap. Semakin dikucurkan, semakin tidak menghasilkan apa-apa dan hanya meninggalkan bau amis korupsi. Mendagri dan Mendes PDT harus segera turun tangan dan mengusut tuntas kejahatan mengerikan ini.
Semoga cepat atau lambat, para mafia anggaran desa ini segera terciduk dan diadili seadil-adilnya.