Skip to main content

Menunggu Sinergi 3 Jenderal Polisi Berantas Korupsi (1)


Korupsi telah mengurat akar di negeri ini. Puluhan dan bahkan ratusan operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK pun tidak membuat data extra ordinary crime ini menurun, apalagi musnah sama sekali. Ibarat memangkas benalu di musim penghujan, semakin gencar KPK menggelar operasi, semakin subur pula tunas-tunas korupsi itu tumbuh.

Kejahatan ini bahkan terus mengikuti aliran uang negara sampai ke pelosok negeri. Kasus 'desa hantu' yang baru-baru ini diungkap oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani, seolah menegaskan kepada kita bahwa, di mana ada uang, di situ ada korupsi. Soal modus dan motif, bisa beraneka ragam dan berubah-ubah sesuai tempat dan kepentingan.


Selama ini kita menaruh harapan besar pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lahir pada awal masa reformasi, lembaga ini diharapkan bisa menjadi punggawa dalam menyelamatkan uang rakyat. Dengan kewenangan yang besar serta independensi juga topangan finansial yang diberikan kepadanya, KPK bergerak leluasa menjerat para maling berdasi yang selama ini sangat lihai merampok uang negara.

Harus diakui, KPK telah memberikan efek trauma bagi para koruptor. Tapi kita juga tidak bisa menutup mata kalau KPK belum berhasil memberikan efek jera, terutama kepada para pejabat publik sehingga korupsi belum sepenuhnya sirna. Mungkin Fahri Hamzah benar ketika mengatakan bahwa setelah sekian tahun KPK harusnya sudah bisa menciptakan sistem pencegahan, agar korupsi tidak terjadi lagi.


Menurut Fahri, penggerebekan dan OTT yang dilakukan KPK hrusnya menjadi parameter keberhasilan lembaga antirasuah itu pada 2 atau tiga tahun pertama ia berdiri. Setelah itu, KPK fokus kepada upaya melahirkan sistem pencegahan kejahatan luar biasa ini. Dengan kata lain, setelah belasan tahun mestinya kita sudah menikmati mahakarya KPK berupa sistem alarm nasional yang mencegah para maling berdasi mencuri harta dan kekayaan negara.

Dengan kata lain operasi lapangan, entah itu tangkap tangan atau penggerebekan dan penyadapan, sejatinya dijadikan materi studi kasus dalam menciptkan sistem pencegahan yang komprehensif tadi. Jadi idealnya operasi lapangan itu terjadi pada 3 tahun pertama. Selebihnya KPK sudah bisa menciptakan sistem, bukan malah memperbanyak OTT.


Sistem pencegahan yang dimaksud Fahri tentu saja bisa terwujud jika KPK tidak terus-terusan bermain solo. Ia harus bisa menggandeng sejumlah lembaga hukum formal, mulai dari Polri sampai Kejaksaan sehingga terciptalah upaya komprehensif dalam upaya pemberantasan korupsi. Namun setelah 17 tahun harapan itu tidak juga terwujud. Sebaliknya, KPK seolah terjebak pada operasi lapangan dan lupa merancang sebuah sistem komprehensif pencegahan korupsi.

Selain dianggap gagal membangun sistem, KPK juga banyak disorot dalam hal penanganan sejumlah perkara korupsi. Ada kesan KPK tidak obyektif dalam menangani kasus tertentu sehingga terjadi 'penggantungan' kasus dan status seseorang yang terjerat perkara korupsi. Salah satu contoh yang sering disebut adalah kasus RJ Lino. 


Direktur Utama PT Pelindo II itu ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada tahun 2015 atas dugaan penyimpangan dalam hal pengadaan 3 unit quay container crane (QCC) melalui penunjukkan langsung terhadap PT Wuxi Huadong Heavy Machinery Co Ltd dari China sebagai penyedia barang pada 2010. Menurut KPK pengadaan tiga alat itu dipaksakan sehingga diduga merugikan negara dan menguntungkan RJ Lino secara pribadi.

Namun setelah kurang lebih 5 tahun berjalan, perkara ini terkesan jalan di tempat. KPK seakan tidak mampu membuktikan tuduhannya, sehingga setelah 5 tahun berproses KPK hanya bisa mendudukan RJ Lino sebagai tersangka.


Masih ada sejumlah kasus korupsi serupa yang menyematkan citra buruk pada KPK. KPK dianggap tidak hati-hati dan terburu-buru menangkap orang, dan tidak menyiapkan dalil serta bukti yang kuat.

KPK juga disebut-sebut getol memberantas perkara kecil, tapi gagal menuntaskan perkara jumbo. Yang terhangat adalah dua kasus dugaan korupsi berskala besar, yakni kasus pembelian Helikopter dan kasus kroupsi Petral yang disebut-sebut dilaporkan sendiri oleh Presiden Jokowi. Hal ini diungkapkan Menkopolhukam Mafud MD yang mengaku dicurhati Presiden Jokowi terkait mandegnya pengusutan dua kasus korupsi kakap ini di tangan KPK.


Dari paparan tentang kegagalan KPK dan hal membangun sistem komprehensif pencegahan koruspi dan menuntaskan perkara korupsi kelas kakap, muncullah kecurigaan dan syak wasangka terhadap lembaga yang pada awal berdirinya disambut sebagai pahlawan uang dan harta negara. Ada sejumlah kecurigaan yang berseliweran di ruang publik.

Pertama, KPK terlalu show power dan cenderung bermain sendiri. Padahal sebagai extraordinary crime, korupsi harus diatasi dengan langkah yang luar biasa pula. Luar biasa bukan hanya dalam hal kewenangan institusinya yang sangat besar, tapi juga sistem yang kuat yang dibangun dengan melibatkan semua instansi yang terkait, seperti Polri, Kejaksaan, bahkan Kemendagri.


Dengan kata lain, KPK perlu bersinergi dan bukannya asyk bermain sendiri. Polri punya sumber daya yang menjangkau sampai ke pelosok; mereka juga punya tim penyidik yang profesional dan terlatih dalam menggali akar, motif dan modus kejahatan. Kejaksaan punya sumber daya yang handal di bagian penuntutan, sehingga diharapkan setiap perkara korupsi mendapat ganjaran hukuman yang tidak main-main.

Bagaimana dengan Mendagri? Mungkin ini terasa asing, dan tidak masuk dalam skenario pemberantasan korupsi. Tapi lihatlah berapa banyak ASN, terutama kepala daerah yagn terjarin OTT KPK? Ini jelas ada benang merahnya dengan kebijakan Mendagri. KPK setidaknya bisa memberikan rekomendasi kepada Mendagri tentang sistem, kebijakan adan aturan yang bisa diterapkan bagi para ASN agar tidak terjatuh dalam kejahatan korupsi.


Kedua, KPK sendiri sepertinya mulai tersandung dengan persoalan internal. Ada semacam gejala lepas kendali sehingga lembaga yang dibangun dengan niat mulia itu, kini mulai kehilangan kepercayaan sebagian publik.

Polemik serangan terhadap Novel Baswedan, dugaan adanya permainan dalam menentukan status sebuah perkara, sepak terjang para pegawai KPK dan para penyidik yang disebut-sebut mulai mengidap syndrom kekuasaan; Belum lagi fakta keteledoran KPK terkait mobil sitaan yang bisa 'berkeliaran' di jalan sampai ditilang polisi.

Semua itu mengkristal pada sebuah pertanyaan, masih bisakah KPK bekerja sendiri? Haruskah kewenangan besar yang selama ini diberikan kepada KPK diteruskan tanpa pengawasan?

        

Popular posts from this blog

Ancam Penggal Kepala Jokowi, Pria Ini Enaknya Diapain?

Semakin lama semakin mengerikan melihat ekspresi para pendukung capres Prabowo Subianto. Mereka seolah dirasuki sesuatu yang membuat hati dan pikiran mereka tertutup terhadap apa dan siapa pun yang tidak bersenyawa dengan pikiran dan tindakan mereka. Hal ini membuat mereka terlihat lebih sebagai pembuat onar atau kaum ekstrimis ketimbang pendukung paslon yang mestinya paham aturan dan tata cara menyampaikan pendapat di ruang publik.  Orang-orang dalam video di atas adalah salah satu contohnya. Mereka merasa bisa melakukan apa saja, kepada siapa saja hingga berani mengancam akan memenggal kepala Presiden Jokowidodo. Mungkin mereka frustrasi karena gaung kemenangan Prabowo yang mereka deklarasikan semakin sayup dan mulai menghilang.  Sebagai pendukung Prabowo adalah hak mereka melakukan aksi dukungan selama sesuai aturan dan undang-undang. Tapi mengancam membunuh Jokowi adalah tindakan naif dan sangat di luar batas. Mungkin inilah ekspresi brutal yang merupakan efek dari m

Menanti Taji Pria Pengancam Jokowi di Depan Polisi

Pria yang mengancam akan memenggal leher Presiden Jokowidodo akhirnya diciduk polisi. Ia dibekuk di sebuah perumahan di kawasan Parung, Bogor, pada Minggu pagi (12/05). Lokasi penangkapan 'jagoan penggal' ini berbeda dengan pengakuannya dalam video yang menyebutkan dirinya berasal dari Poso.  HS pun langsung digiring ke Polda Metro Jaya untuk menjalani pemeriksaan.  Video HS mengancam Jokowi beredar luas di media sosial beberapa hari lalu. Diduga pernyataan konyol itu dilontarkan pelaku saat mengikuti aksi demo di depan gedung KPU dan Bawaslu. HS yang dikelilingi sejumlah demonstran lain termasuk dua orang wanita, tampak garang dan begitu bernafsu mengancam akan memenggal leher Jokowi.  Kini publik menunggu seberapa besar nyali demonstran beringas ini saat berhadapan dengan pihak penyidik Polda Metro Jaya. Di hadapan penyidik nanti, ia harus mempertanggungjawabkan apa yang sudah diperbuatnya. Nyalinya diuji karena ia akan menghadapi semuanya seorang diri. Tidak a

Strategi Cerdas Jokowi Pulihkan BUMN

Sewaktu melantik para menteri Kabinet Indonesia Maju, banyak kalangan kecewa karena nama Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, tidak masuk dalam deretan nama para pembantu Jokowi itu. Para pendukung fanatik Ahok mengira Jokowi sudah melupakan sekondannya itu sewaktu sama-sama memimpin DKI.  Tidak hanya Ahok, nama lain seperti Susi Pudjiastuti, Ignasius Jonan dan Archandra Tahar juga seperti dipinggirkan dari urusan para penentu kebijkan di sejumlah sektor yang sudah ditentukan. Bahkan tidak sedikit yang larut dalam ekspresi sentimentil seolah kehilangan sosok yang mereka cintai. Pertanyaan di mana Susi Pudjiastuti ramai dibicarakan di dunia nyata maupun dunia maya.  Tapi memang begitulah Jokowi. Dia selalu menyimpan sejumlah kejutan dalam sejumlah keputusannya. Ibarat seorang petarung, Jokowi tidak memeragakan semua strategi di depan. Ada yang disimpan, dan bisa jadi senjata pamungkas.  Dan kini semua mulai terlihat. Ahok diberi kursi Komisaris Utama Pertamina, posisi yan