Memang tidak mudah mengembalikan Ahok ke kursi pejabat publik. Banyak pihak menolak dengan berbagai alasan. Sebab Ahok bagi mereka adalah momok yang menakutkan. Mereka takut kenyamanan mereka selama ini terusik karena Ahok bukan figur yang gampang diajak kompromi apalagi dikadali.
Dia paham detil tugas dan tanggung jawab setiap kepala bagian sampai ke anak buah mereka. Dia bukan tipe pemimpin yang senang digombali dengan pujian dan sanjungan, jugà tak termakan lobi-lobi licik menggunakan tumpukan upeti.
Ahok juga paham celah-celah yang bisa dijadikan kamar perselingkuhan para mafia dengan kaum birokrat. Dengan masuknya Ahok ke BUMN, semua kran ilegal akan ditutup rapat, lubang-lubang intipan, juga tempat menyetor upeti disumbat.
Maka penolakan pun mulai digelorakan dari dalam dan luar BUMN. Alumni 212, kelompok yang dulu menggelar demo berjilid-jilid demi menumbangkan Ahok pun bersuara. Seperti biasa mereka membawa-bawa nama umat, walaupun tidak dibuat batasan yang tegas soal umat mana yang mereka maksudkan.
Apakah umat yang dimaksud pentolan 212 adalah umat yang pada musim Pilkada DKI gigih menyingkirkan Ahok dengan ayat dan mayat? Kalau kelompok ini yang dimaksud, posisi mereka memang sudah jelas. Bagi mereka no excuse buat Ahok. Lalu apakah negara harus mendengarkan mereka, terutama setelah melihat hasil kerja figur pilihan kaum pemaksa kehendak itu di DKI?
Yang perlu dipertanyakan juga adalah, apakah orang-orang ini berbicara atas dasar pengetahuan, kesadaran, serta dorongan nurani mereka sendiri? Bisa jadi iya, karena mereka sudah terlanjur menjadikan Ahok sebagai tokoh antagonis dalam lakon hidup mereka. Tapi bisa juga mereka cuma corong atau boneka yang menyuarakan kepentingan para bohir, kaum yang paling terancam bila Ahok benar-benar duduk di kursi Dirut BUMN.
Soal suara bohir yang lantang diteriakan, padahal sang bohir tidak pernah menampakan batang hidungnya, kita seolah diingatkan kembali pada penelusuran pihak berwajib terkait sumber dana yang membiyai demo berjilid-jilid pada musim Pilkada DKI 2017 lalu. Jika ditarik benang merahnya, barangkali para bohir itu punya sesuatu di balik BMUN.
Para pimpinan alumni 212 perlu kiranya merefleksikan satu hal bahwa, kurang lebih setelah dua tahun melewati Pilkada DKI, rakyat dan umat mulai terbuka matanya dengan realita ibu kota saat ini. Cobalah lihat dengan jernih bagaimana Jakarta setelah ditinggal Ahok.
Cermati prilaku gubernur yang terpilih karena dinilai santun dan seiman. Dimana keimanan dan kesantunannya ketika banyak anggaran yang dipakai secara tidak efektif? Dimana kesantunan dan keimanan sang gubernur ketika banyak mata anggaran siluman dengan harga super fantastis, tidak dipertanggungjawabkan dengan sikap seorang gentleman, atau setidaknya dengan sikap seorang beriman?
Dengan fitback Pilkada DKI, masihkah kita menaruh kepercayaan kepada para pentolan 212 yang menjadi barisan terdepan mendepak Ahok dari DKI, dan kini mau menolaknya menjadi Dirut BUMN? Apakah kita mau orang seperti figur setipe Anies Baswedan lagi yang akan memimpin BUMN sebagai sumber devisa penting bagi negara?
Selain alumnus 212, pentolan FPI, Novel Bamukmin juga tak kalah fokal menolak Ahok. Alasannya lebih konyol lagi. Menurut Novel Ahok adalah produk gagal yang tidak pantas diberi tempat lagi di bumi pertiwi.
Terhadap penolakan Novel, pertanyaannya adalah, apa definisi produk gagal di matanya? Karena dalam konteks umum produk gagal adalah produk yang diciptakan tapi hasilnya tidak maksimal sehingga orang tidak ingin memilkinya.
Ahok bukan produk gagal melainkan produk unggul yang disingkirkan demi kepentingan politik dengan menunggangi isu agama. Ia figur unggulan sehingga meskipun tidak lagi menjabat, nama dan karyanya selalu menjadi pembanding bagi penggantinya di DKI-1. Lagipula, apa kapasitas Novel sampai suaranya perlu didengarkan oleh Erick Thohir dan Jokowi? Negara sebesar ini, haruskah mendengar suara dari seorang dengan kapasitas dan kualitas berpikir seperti Novel?
Penolakan tidak hanya berasal dari mantan musuh Ahok. Para pekerja Pertamina juga mulai mengibarkan bendera perang menolak Ahok masuk BUMN. Sikap para pekerja ini yang lebih menarik untuk dibahas ketimbang celoteh Novel dan Alumni 2012.
Bagaimana mungkin para pekerja Pertamina yang pastinya tahu kondinsi amburadul di tubuh BUMN, bisa berteriak menolak Ahok? Untuk siapa sebenarnya mereka berteriak?
Ini sama dengan pegawai KPK yang ramai-ramai berteriak menolak RUU KPK padahal nyata-nyata di depan mata mereka banyak kecurangan terjadi di dalam tubuh lembaga tempat mereka bernaung itu. Dan kini para serikat pekerja Pertamina mau melakukan hal yang sama. Apa ini hasil kerja petinggi Pertamina yang diciduk karena diduga terpapar paham radikal?
Memang sudah lama beredar kabar kalau BUMN adalah salah satu ladang subur bagi para bani penganut paham radikal. Dan penolakan terhadap Ahok menjadi pembenaran tambahan atas dugaan tersebut.
Dan Tuhan menunjukkan kuasa-Nya melindungi negara ini dari orang-orang yang tega menghabisi nyawa sesama dengan menjual surga dan Tuhan. Pelaku bom bunuh diri di Markas Polrestabes Medan seperti membuka semua kedok para sahabatnya yang selama ini menikmati uang negara dengan bekerja sebagai karyawan BUMN.
Dari penelusuran jaringan bomber Medan itulah, Densus 88 dihantarkan ke petinggi BUMN di Cirebon yang akhirnya dibekuk atas dugaan ikut dalam jaringan radkalisme. Semoga saja, para serikat pekerja Pertamin yang saat ini berteriak-teriak menolak Ahok bukan bagian dari jaringan radikalisme yang diduga dibesarkan oleh petinggi BUMN yang berhasil diciduk polisi.