Skip to main content

Jokowi, Mengapa Diam Saja?


"Jokowi terlalu santai menghadapi manuver Prabowo dan tim BPN", begitu kata teman saya yang seorang pendukung fanatik Jokowi. Saya tanya balik dan pura-pura tidak tahu arah pembicaraannya, "Gerakan Prabowo yang mana?" "Itu lho, menolak hasil pilres. Katanya mau pakai people power segala". Saya menyimak dengan dahi berkerut, lalu memberikan penjelasan panjang lebar berikut. 

Sekilas Jokowi memang terlihat sangat tenang, atau meminjam istilah teman saya tadi, 'santai' menghadapi berbagai macam manuver kubu capres 02 Prabowo Subianto, pasca Pemilihan Umum serentak 17 April 2019 lalu. Berbagai tuduhan disemburkan, mulai dari kecurangan yang diklaim terjadi secara terstruktur, masif, sistematis dan brutal, hingga upaya menggoreng dan menggiring fakta kematian ratusan petugas KPPS ke ranah politik.

Semua itu secara tidak langsung "mencolok mata" Jokowi sebagai rival dalam Pilpres sekaligus Presiden Petahana yang masih berkuasa saat ini. Sebagai rival, Jokowi dan timnya dituduh tidak sportif dan bermain curang agar bisa mengalahkan Prabowo. Sebagai kepala pemerintahan ia, langsung maupun tidak langsung, dituduh memanfaatkan kekuasaan untuk menggiring elemen-elemen penyelenggara Pemilu dari pusat sampai daerah agar bekerja memenangkan dirinya.

Menghadapi semua tudingan itu Jokowi tetap tenang dan tidak terpancing melakukan aksi terbuka dan frontal terhadap Prabowo serta semua tokoh di belakangnya. Kalaupun ditanya, ia hanya memberi pernyataan normatif agar semua pihak menahan diri dan menghormati proses demokrasi yang sedang berlangsung di KPU. Selebihnya, Jokowi diam dan memilih sibuk menjalankan tugas dan fungsinya sebagai Presiden.

Sikap Jokowi sangat kontras dengan sikap Prabowo. Mendekati hari pengumuman resmi hasil Pilpres dan Pileg pada 22 Mei mendatang, Kertanegara dan seluruh tim 02 sepertinya semakin sibuk saja, Mereka sibuk mencari celah dan jalan memuluskan sikap Prabowo menolak hasil pilpres, mulai dari menekan KPU dengan aksi demonstrasi, menggagas gerkan people power, hingga simposium pengungkapan data kecurangan pemilu.

Lalu, apakah Jokowi diam saja menghadapi aksi-aksi mereka? Terlalu naif kalau menilai Jokowi diam, dalam arti pasif atau cuek. Dia memang tidak mau tampil frontal dan vulgar meladeni Prabowo dan timnya. Itu bukan gaya Jokowi. Jangan lupa, segarang apa pun Prabowo mengeritik pemerintahannya, Jokowi selalu menyapa Prabowo dengan sebutan sahabat. Dalam debat terakhir, Jokowi bahkan mengatakan bahwa apa pun yang akan terjadi, persahabatannya dengan Prabowo tidak akan berubah. Jadi mana ada seorang sahabat memukul sahabatnya sendiri di depan khalayak? Dia akan memberinya nasehat atau pelajaran lewat orang-orang dekatnya. Nah ini baru gaya Jokowi. Bagaimana caranya? 

Pertama, ia mengutus Luhut Binsar Panjaitan untuk menemui Prabowo. Luhut adalah teman baik Prabowo sejak masih sama-sama di militer dulu. Selain itu, Luhut juga termasuk sosok yang disegani Prabowo. Tapi entah kenapa, kali ini Prabowo menolak menemui Luhut. Apakah Jokowi marah dan merasa tidak dihargai? Sama sekali tidak. Bagi Jokowi hanya ada dua kemungkinan dalam setiap upaya membangun komunikasi: berhasil atau gagal.  

Langkah pertama tak disambut, Jokowi pun mulai memainkan diplomasi cantik. Kali ini ia mengingatkan Prabowo melalui kolega politiknya. Satu per satu partai koalisi 02 dirangkul. Yang pertama, Partai Demokrat. Kenapa Demokrat? Ketua umum Demokrat, Soesilo Bambang Yudhoyono itu seorang militer yang memiliki pengaruh di dalam tubuh TNI. Ia juga seorang mantan presiden, yang berarti pernah menjadi panglima tertinggi TNI. Jadi menghadapi Prabowo jelas butuh tangan SBY. Imbalannya apa buat SBY dan Demokrat? Soal ini biar dibahas di kesempatan lain saja. 

Kembali ke langkah Jokowi merangkul SBY dan partainya. Selain alasan obyektif terkait pengaruh SBY, Jokowi tahu SBY dan Prabowo memiliki ikatan sentimental sebagai sesama alumni akademi militer. Pernah mengenyam pendidikan bersama Prabowo, SBY tentu tahu benar sosok seperti apa Ketum Gerindra itu dan bagaimana cara menghadapinya. 

Dan benar saja, pasca pertemuan Jokowi dengan AHY, "perang" Demokrat dengan Gerindra meletus. Kedua elite partai itu saling menyerang secara terbuka dan vulgar di media massa. Bermula dari cuitan Andi Arief yang mengungkap ada 'setan gundul' di kubu Prabowo, hingga balasan Kivlan Zen yang secara kasar menyebut SBY sebagai pribadi licik dan tak jelas kelaminnya. Sampai di sini, hubungan Demokrat-Gerindra, kelar. Dan inilah yang dalam falsafah Jawa dsebut dengan 'menabok lawan menggunakan tangan orang lain'. 

Setelah Demokrat merapat, Jokowi bergegas merangkul PAN. Yang ini sepertinya tidak terlalu sulit. Belajar dari pilpres 2014, PAN akan merapat sendiri tanpa harus susah-susah dirangkul. Jangan lupa, mantan Ketum PAN, Sutrisno Bachir masuk salah satu tim ahli dalam pemerintahan Jokowi. Dan konon, chemistry politik antara Zulkifli dan Sutrisno, mengalahkan chemistry besanan antara Zul dengan Amien. 

Foto: Kompas 

Bagi Jokowi merangkul PAN itu ibarat sekali tangan terayun, dua tiga lawan terjungkal. Dengan menarik PAN Jokowi memotong satu lagi gerbong politik BPN sekaligus mempermalukan Amien Rais selaku Ketua Dewan Kehormatan partai berlambang matahari itu. Julukan 'bebek lumpuh' buat Jokowi yang dulu disematkan Amien kini seolah berbalik kepada dirinya sendiri. 

Seruan people power yang digembar-gemborkannya seperti menabrak angin. Desmond Mahesa, aktivis '98, yang juga politisi Gerindra bahkan menantang Amien Rais untuk memerintahkan partainya turun terlebih dahulu sebelum menggerakan orang lain. Sementara itu, Jokowi terus merangkul PAN lebih dekat kepadanya. Rangkulan itu bahkan dibuat romantis dalam acara berbuka puasa bersama Zulkifli Hasan selaku Ketum PAN.

Acara buka puasa itu sendiri pun sudah merupakan satu pesan tersendiri buat lawan. Bahwa di Bulan Suci Ramadhan ini, adalah sesuatu yang indah jika para elite menahan diri dan membuka saluran silahturahmi. Pesan ini menohok bagi tokoh-tokoh di kubu 02 yang selama ini dikenal segai tokoh politik dan religius.

Sampai disini masih mau bilang Jokowi apatis dan terlalu santai menghadapi manuver kubu Prabowo? Oke, masih ada keraguan terkait wacana people power. Begini, people power itu tidak bisa jalan jika dipakai sebagai alat sekelompok orang yang ingin merebut kekuasaan. Karena people power adalah gerakan yang lahir dari hati nurani rakyat seluruhnya, bukan hanya rakyat pendukung capres tertentu yang kalah dalam pemilu.

Kedua, kata Hendropriyono, people power tidak akan berhasil tanpa dukungan TNI-Polri. Sekarang coba lihat, di mana posisi TNI-Polri? Mereka sedang siaga di Monas untuk mengantisipasi segala sesuatu yang bisa mengancam keamanan dan keselamatan bangsa, termasuk gerakan people power yang, menurut banyak ahli hukum tata negara, tidak punya cukup alasan untuk melakukannya saat ini. 

Kini, Jokowi lagi-lagi membuat lawan politiknya manyun. Ia tidak melakukan langkah yang luar biasa, atau menggelar kampanye akbar di depan para pedukung. Sebaliknya, ia hanya menggelar acara berbuka puasa bersama para prajurit TNI-Polri di Monas. Apa pesan yang mau dia sampaikan? Sederhana tapi cukup membuat lawan ketar-ketir. Kalau pakai bahasa anak zaman now kira-kira seperti ini pesannya: "Kalian yang mau bikin onar, silahkan berhadapan dengan para prajurit penjaga negera ini, ya." 

Lalu bagaimana jika Prabowo terus menolak hasil Pilpres? Biarin aja! Toh penolakan Prabowo sama sekali tidak mempengaruhi legalitas dari hasil pilpres yang akan dimumumkan KPU. Penolakan Prabowo hanya akan berarti dan berpengaruh pada kemenangan Jokowi jika Prabowo dan timnya mampu membuktikan tuduhan kecurangan terstruktur, masif, sistematis dan brutal yang serign mereka ungkapkan. 

Sejauh ini tuduhan kecurangan yang diungkap kubu Prabowo masih berkutat di sekitar lingkaran mereka saja. Sebab data yang mendasari deklarasi kemenangan Prabowo masih kabur dan tidak pernah dibuka kepada publik. 

Jadi kenapa Jokowi diam dan tenang-tenang saja di tengah riuhnya kubu 02, sudah tahu jawabannya, ya. Hayo jawab: SIAP PRESIDEN!!!
  


Popular posts from this blog

Menanti Taji Pria Pengancam Jokowi di Depan Polisi

Pria yang mengancam akan memenggal leher Presiden Jokowidodo akhirnya diciduk polisi. Ia dibekuk di sebuah perumahan di kawasan Parung, Bogor, pada Minggu pagi (12/05). Lokasi penangkapan 'jagoan penggal' ini berbeda dengan pengakuannya dalam video yang menyebutkan dirinya berasal dari Poso.  HS pun langsung digiring ke Polda Metro Jaya untuk menjalani pemeriksaan.  Video HS mengancam Jokowi beredar luas di media sosial beberapa hari lalu. Diduga pernyataan konyol itu dilontarkan pelaku saat mengikuti aksi demo di depan gedung KPU dan Bawaslu. HS yang dikelilingi sejumlah demonstran lain termasuk dua orang wanita, tampak garang dan begitu bernafsu mengancam akan memenggal leher Jokowi.  Kini publik menunggu seberapa besar nyali demonstran beringas ini saat berhadapan dengan pihak penyidik Polda Metro Jaya. Di hadapan penyidik nanti, ia harus mempertanggungjawabkan apa yang sudah diperbuatnya. Nyalinya diuji karena ia akan menghadapi semuanya seorang diri. Tidak a

Ancam Penggal Kepala Jokowi, Pria Ini Enaknya Diapain?

Semakin lama semakin mengerikan melihat ekspresi para pendukung capres Prabowo Subianto. Mereka seolah dirasuki sesuatu yang membuat hati dan pikiran mereka tertutup terhadap apa dan siapa pun yang tidak bersenyawa dengan pikiran dan tindakan mereka. Hal ini membuat mereka terlihat lebih sebagai pembuat onar atau kaum ekstrimis ketimbang pendukung paslon yang mestinya paham aturan dan tata cara menyampaikan pendapat di ruang publik.  Orang-orang dalam video di atas adalah salah satu contohnya. Mereka merasa bisa melakukan apa saja, kepada siapa saja hingga berani mengancam akan memenggal kepala Presiden Jokowidodo. Mungkin mereka frustrasi karena gaung kemenangan Prabowo yang mereka deklarasikan semakin sayup dan mulai menghilang.  Sebagai pendukung Prabowo adalah hak mereka melakukan aksi dukungan selama sesuai aturan dan undang-undang. Tapi mengancam membunuh Jokowi adalah tindakan naif dan sangat di luar batas. Mungkin inilah ekspresi brutal yang merupakan efek dari m

Strategi Cerdas Jokowi Pulihkan BUMN

Sewaktu melantik para menteri Kabinet Indonesia Maju, banyak kalangan kecewa karena nama Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, tidak masuk dalam deretan nama para pembantu Jokowi itu. Para pendukung fanatik Ahok mengira Jokowi sudah melupakan sekondannya itu sewaktu sama-sama memimpin DKI.  Tidak hanya Ahok, nama lain seperti Susi Pudjiastuti, Ignasius Jonan dan Archandra Tahar juga seperti dipinggirkan dari urusan para penentu kebijkan di sejumlah sektor yang sudah ditentukan. Bahkan tidak sedikit yang larut dalam ekspresi sentimentil seolah kehilangan sosok yang mereka cintai. Pertanyaan di mana Susi Pudjiastuti ramai dibicarakan di dunia nyata maupun dunia maya.  Tapi memang begitulah Jokowi. Dia selalu menyimpan sejumlah kejutan dalam sejumlah keputusannya. Ibarat seorang petarung, Jokowi tidak memeragakan semua strategi di depan. Ada yang disimpan, dan bisa jadi senjata pamungkas.  Dan kini semua mulai terlihat. Ahok diberi kursi Komisaris Utama Pertamina, posisi yan